Anak Sekecil Itu Nalarnya Sudah Berproses

Minggu, 08 Mei 2016

 

 


pendidikan, kemampuan berpikir tingkat rendah, nalar, kemampuan berpikir tingkat tinggi, nalarnya berproses





Di suatu hari, tepatnya di suatu malam minggu di awal bulan Mei dalam suasana liburan panjang, saya dan istri saya menempuh perjalanan pulang dari Tangerang ke Jakarta di atas moda angkutan bus Agramas jurusan Tangerang-Cikarang.  Waktu itu kondisi lalu lintas padat merayap dan kami berdua sangat ngantuk karena kelelahan.

Berangkat dari Tangerang  saya dan istri saya duduk di bangku dua sebelah kiri, baris ketiga dari depan. Saya duduk di sebelah kanan istri saya. Dipisahkan oleh lorong jalan, di sebelah kanan saya duduklah ibu muda dan anak lelakinya. Persis di sebelah kanan saya duduklah ibu muda itu dan di sebelah kanannya duduklah anaknya.

Tak lama sesudah duduk anak lelakinya mulai menyanyi pelan dan akhirnya agak keras sedikit. Lagu demi lahu ia nyanyikan, di antaranya lagu pelangi, burung kakatua, balonku, dan lain-lain dan pada saat selesai menyanyikan lagu cicak di dinding terjadi dialog antara anak itu dan ibunya.
                 
                Sang anak:         Hap lalu ditangkap. (penggalan syair lagu cicak di dinding)
                                              Nyamuknya dimakan cicak, ya mah?
                Ibunya:               Iya. Biar nyamuknya tidak menggigit adik.
                Sang anak:         Mah, biar rumah kita tidak ada nyamuknya, kita banyakin saja cicaknya.
                Ibunya:               Kalau cicaknya dibanyakin, nggak baik juga.
                                             (Berikutnya terjadi penawaran dari sang anak)
                Sang anak:         Kalau begitu nggak usah banyak, mah ya?
                                             Kalau begitu bagaimana kalau lima saja?
                Ibunya:               Iya. Iya.
                                           (Anaknya sudah mulai menunjukkan tanda-tanda lelah dan ngantuk)

Setelah anak itu tidak nyanyi lagi, dialog beralih antara saya dan ibunya (yang mewakili anaknya).
               
                Saya:                     Koq, nyanyinya sudahan?
                Ibunya:                  Iya, baterinya sudah mulai lemah. (Baca: si anak sudah mulai lelah)
                Saya:                     Nyanyinya sudah lancar dan artikulasinya sudah jelas.
                                                Sekarang sudah duduk di kelas berapa?
                Ibunya:                  Baru duduk di kelas nol besar.
                Saya:                     Oh! Di kelas nol besar? Sebentar lagi naik ke kelas satu SD, dong?
                Ibunya:                  Iya. Insya Allah tahun ini akan didaftarkan ke kelas satu SD.

Dari dialog antara saya dan ibunya, saya baru tahu kalau anak tersebut baru duduk di kelas nol besar. Alangkah terkejutnya saya mengetahui hal itu. Anak kelas nol besar nalarnya sudah mulai berproses.

Sementara itu sang anak sudah mulai ngantuk berat, ibunya mulai mengendong dan memeluknya. Tidurlah anak itu di atas pangkuan ibunya dalam perjalanan di atas bus Agramas yang sedang menuju Jakarta. Menjelang sampai lampu merah Pasar Rebo, anak itu dibangunkan. Dibelikanlah dia kacang goreng bungkus plastik dari pedagang asongan. Sesampainya di lampu merah Pasar Rebo mereka berdua, ibu muda dan anaknya turun. Sampai di sini saya tak tahu ke mana keduanya akan melanjutkan perjalanan.

Sementara banyak pihak mengeluhkan bahwa anak-anak kita belajarnya lebih banyak pada kemampuan berpikir tingkat rendah. Seperti apa yang diutarakan oleh Mohammad Abduhzen: “Orientasi pembelajaran yang dijalankan sebatas mengoptimalkan kemampuan berpikir tingkat rendah. Pikiran para murid setiap hari dijejali oleh beragam data pengetahuan yang—entah berguna atau tidak—dihafal dan diuji di kemudian hari. Sedikit sekali para pelajar dilibatkan dalam proses berpikir tingkat tinggi, seperti menalar, menganalisis, dan memecahkan masalah yang konon sebagai salah satu kecakapan utama yang dibutuhkan untuk hidup dan suskses di abad ke-21.” (Kompas, Senin, 2 Mei 2016, hal. 6) Pendiri startup Seekmi Nayoko Wicaksono yang pernah menempuh pendidikan di University of British Columbia, Kanada menuturkan: “Pendidikan di Indonesia, banyak yang lebih ke memorizing, tetapi tidak terlalu mengerti tentang hal-hal yang dipelajari. Efeknya, pengetahuan pun kurang mendalam.” (Kompas, Senin, 2 Mei 2016)

Saya tertarik dan ingin berkomentar atas kejadian dialog antara ibu muda dan anaknya. Bila kita kaitkan apa yang diutarakan anak dalam dialog tersebut di atas dan dua cuplikan di atas yang sudah kita baca rasanya ada suatu kontradiksi. Anak itu saat ini baru duduk di kelas nol besar tetapi mengapa nalarnya sudah nampak dan berproses? Apakah nanti setelah duduk di bangku SD dan seterusnya nalar anak tersebut sengaja ditumpulkan sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Mohammad Abduhzen? Seandainya nalar anak itu diasah mulai di bangku SD—dan tidak dengan sengaja ditumpulkan—saya yakin nalar anak ini akan menjadi tajam. Dan inilah generasi yang kita idamkan.


Follow Twitter Saya: @baryzin
Read more ...

Belajar Itu Harus Mengalami

Selasa, 22 Desember 2015
pendidkan, belajar, pembelajaran, murid, guru


Belajar sebaiknya dialami melalui pengalaman langsung. Belajar harus dilakukan oleh murid secara aktif, baik individual mau pun kelompok dengan cara memecahkan masalah.

Teacher-centered Approach vs Student-centered Approach

Rogers menyayangkan praktik pendidikan yang menitikberatkan pada segi pengajaran, bukan pada siswa yang belajar. Praktek tersebut ditandai oleh peran guru yang dominan (teacher-centered approach) dan murid hanya menghafalkan pelajaran. Rogers mengemukakan pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan. Prinsip pendidikan dan pengajaran menurut Rogers di antaranya: (1) Belajar yang optimal akan terjadi, bila murid berpartisipasi secara bertanggung-jawab dalam proses belajar; (2) Belajar mengalami (experiential learning) dapat terjadi, bila murid mengevaluasi dirinya sendiri, self evaluation dan kritik diri; (3) Belajar mengalami menuntut keterlibatan murid secara penuh dan sungguh-sungguh.

Belajar harus dilakukan sendiri oleh murid, belajar adalah mengalami, belajar tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Edgar Dale dalam penggolongan pengalaman belajar yang dituangkan dalam kerucut pengalamannya mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung, murid tidak sekedar mengamati secara langsung tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan, dan bertanggung-jawab pada hasilnya.

Sebagai contoh, murid disuruh melipat kertas, yang paling baik apabila ia terlibat secara langsung dalam kegiatan melipat kertas (direct performance), bukan sekedar melihat bagaimana orang melipat kertas (demonstrating), apalagi sekedar mendengar orang berceramah bagaimana cara melipat kertas (telling).

Perhatikan apa yang diteliti oleh Benjamin Franklin lebih dari 300 tahun yang lalu.

How do people learn best?

How do people learn best? There is not one answer because much depends on individual learning styles and needs. Over 300 years ago, however, the noted inventor Benjamin Franklin made some observations regarding learning that still hold true for a great many learners today: "Tell me and I forgot. Teach me and I remember. Involve me and I learn."

Imagine that you are learning how to fold a paper airplane. The person teaching you presents the information verbally. She begins by saying: 

     Take a piece of paper.
     Fold it in half.
     Open the paper.
     Look at the crease in the middle.
     Now take one corner and fold it down along the crease.

The instructions continue this way. How well are you going to learn how to fold a paper airplane?

Now imagine that your instructor is standing before you with paper and gives the directions while folding the paper herself. Will this help you more?

Finally, imagine that both you and your instructor have paper. Each time she gives you intructions, both you and she fold your own papers.

Dari tiga metode di atas, yang mana yang paling efektif dalam membantu murid belajar bagaimana melipat secarik kertas?

Of the three methods, which one will be the most effective in helping you learn how to fold a paper airplane?

It's interesting to think about Benjamin Franklin's quote in relation to learning English. How do you learn English best? Is "being told" effective for you? What about "being taught"? How about "being involved"?

Pentingnya keterlibatan langsung dalam belajar dikemukakan oleh John Dewey dengan "learning by doing"-nya. Belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung. Belajar harus dilakukan oleh murid secara aktif, baik individual atau pun kelompok dengan cara memecahkan masalah (problem solving). Sementara itu, guru bertindak sebagai fasilitator dan mentor ketimbang pengajar atau sipir kelas.

Follow Twitter Saya: @baryzin
Read more ...

Membayangkan Pendidikan Abad Ke-21

Minggu, 20 Desember 2015
pendidikan, pembelajaran, belajar

Andreas Schleicher, Direktur PISA-OECD, pada Google Education Symposium mengatakan, saat ini kita berusaha mendidik anak-anak abad ke-21 dengan guru-guru abad ke-20, dan struktur persekolahan abad ke-19. Dunia telah berubah, sedangkan persekolahan tergopoh-gopoh mengikuti.

Sehubungan dengan pendidikan abad ke-21 Salman Khan, pengarang buku "The One World School House" mengajukan rekonstruksi paradigma pedagogi yang berpusat pada asumsi kebiasaan, kesanggupan, dan kemauan murid untuk belajar (apa pun) secara independen. Sementara itu, guru bertindak sebagai fasilitator dan mentor ketimbang pengajar atau sipir kelas.

Peran guru tidak sekedar mengajar normatif, tetapi juga punya insights tentang minat, kecepatan, dan kesulitan yang dihadapi masing-masing murid. Dengan bantuan teknologi guru-guru terbaik di dunia dalam bahasa apa pun bisa diakses oleh siapa pun dan di mana pun. Dengan teknologi pula orangtua bisa mengakses semua data-data pendidikan terkait anak mereka, guru, sekolah, dan peran pemerintah.

Pendidikan sepantasnya bertumpu pada proses tumbuh kembang masing-masing murid yang unik dan istimewa. Pelajaran dan kurikulum hanyalah sekedar alat, bukan tujuan. Lagi pula, kurikulum terbaik untuk seseorang adalah kurikulum yang didisain secara khusus untuk dirinya.


belajar, pendidikan, pembelajaran


Belajar yang berpusat pada murid. Secara umum, ini bisa diartikan sebagai pemusatan berbagai langkah, upaya, dan metode untuk memastikan berjalannya proses pembelajaran optimal pada masing-masing anak. Dibayang di ruang kelas itu tidak ada ruang kelas berdasarkan usia, tidak ada pembagian jam mata pelajaran dan tidak ada pekerjaan rumah (PR). Lebih lanjut, tidak ada nilai, tidak ada ujian, tidak ada paksaan dalam belajar. Apa yang terjadi dalam kelas tersebut adalah miniatur kehidupan dengan mengedepankan beberapa elemen kunci: passion, imajinasi, kreativitas, kejujuran, empati, kolaborasi, eksperimentasi, dan karya.

Pendidikan abad ke-21 tetap mengakui peran guru karena tidak ada teknologi yang bisa menggantikan peran guru, orangtua, dan ekosistem pendidikan. Pendidikan abad ke-21 mereferensikan bagaimana teknologi bisa berfungsi sebagai akselerator pendidikan.

Pendidikan abad ke-21 harus menekankan aspek inovasi. Orientasi pendidikan abad ke-21 harus memberikan ruang, waktu, dan bimbingan kepada anak-anak didik untuk berpikir inovatif dalam berbagai kesempatan di sekolah, termasuk ketika bermain, berinteraksi satu sama lain, belajar di kelas, makan siang, dan sebagainya. Berpikir inovatif inilah yang merupakan ciri keterampilan pendidikan abad ke-21 yang jauh lebih penting daripada keterampilan menggambar menggunakan berbagai aplikasi komputer.

Untuk menunjang pola pikir inovatif diperlukan setidaknya 3 hal, yakni fasilitas, kualitas guru, dan kegiatan belajar. Dibayangkan area bermain anak-anak dipenuhi dengan berbagai benda betulan dan bukan mainan agar lingkungannya terlihat alami. Dengan benda-benda yang ada, mereka setiap saat bisa membongkar pasang, membuat benteng atau rumah-rumahan. Di sini anak-anak dapat menjadikan berbagai benda, mainan atau bukan, menjadi hasil karya dan menjadi alat untuk terus berimajinasi.

Dibayangkan saat bermain, guru-guru abad ke-21 mengobservasi anak didik mereka tanpa banyak intervensi. Mereka terdidik dan terlatih untuk peka dan mengerti kapan mereka harus mendorong anak untuk bermain bersama yang lain, dan kapan membiarkannya untuk sibuk sendiri di sudut halaman sekolah. Mereka menggunakan berbagai cara unik untuk membangun komunikasi yang baik dengan orangtua. Salah satunya adalah dengan men-scan hasil karya anak-anak untuk disampaikan kepada orangtua mereka.


pendidikan, pembelajaran, belajar

Anak-anak di sini tidak sedang berpura-pura belajar, tapi belajar betulan. Maka, alat belajar mereka pun alat betulan. Learning by doing, kata John Dewey. Mereka membuat patung dari tanah liat, menggambar dengan berbagai media, berlatih memalu paku, berlatih memotong kayu dengan gergaji, menjahit dengan mesin listrik, dan semua ini dilakukan dengan alat yang sebenarnya, bukan mainan.

Berprinsip pada filosofi pendidikan John Dewey, dalam belajar anak-anak harus mengalami melalui perbuatan langsung, experiencing berbagai proses, bereksperimen menggunakan berbagai alat, dan mencoba sendiri menjawab pertanyaan mereka secara aktif, lalu membangun pertanyaan baru, kemudian menjawabnya lagi, dan terus-menerus berpikir inovatif. Dalam belajar anak-anak perlu lingkungan sekolah apa adanya tanpa dicat warna-warni yang artifisial. Anak-anak harus dibiasakan tumbuh di lingkungan yang alami dan belajar hal-hal yang juga alami yang mereka temui di luar sekolah.

Dewey berprinsip bahwa sekolah bukanlah ruang yang terisolasi dari "kehidupan nyata," dan sekolah bukanlah persiapan untuk hidup melainkan bagian dari hidup anak-anak itu sendiri. Demikian pula pendidikan abad ke-21, pendidikan model ini harus dirancang untuk merespons kompleksitas dunia. Bukannya terisolasi dalam dinding kelas, terkungkung di dalamnya.

Note:
Inti dari filosofi pendidikan John Dewey adalah "learning by doing." Pentingnya keterlibatan langsung dalam belajar dikemukakan oleh John Dewey dengan "learning by doing"-nya. Belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung. Belajar harus dilakukan oleh murid secara aktif, baik individual mau pun kelompok dengan cara memecahkan masalah.

EnglishKita.com

Sumber: Kompas, 14 Desember 2015, hal. 19

insight: wawasan, pengertian, pengetahuan (yg dalam)
Read more ...

Riset Pendidikan

Selasa, 23 Juni 2015
artikel pendidikan tentang hasil riset pendidikan, artikel pendidikan tentang riset pendidikan, artikel pendidikan hasil riset pendidikan

Riset pendidikan yang berlaku bagi setiap guru.

Kata kunci: menyelang-nyeling (intersperse)

John P. Rickards menemukan dua hal:
  1. Tempat yang paling tidak efektif untuk mencetak pertanyaan adalah pada akhir dari bab buku teks.
  2. Hal yang tidak efektif memberi siswa semua pertanyaan untuk sebuah tugas pada satu waktu, dan kemudian meminta siswa itu untuk menjawab semua pertanyaan dan menyerahkan semua pertanyaan pada satu waktu.
Rickards menemukan bahwa jika Anda ingin seorang siswa mencapai pemahaman tingkat tinggi, Anda seharusnya menyelang-nyeling (menyisipkan) pertanyaan sepanjang teks atau tugas itu. Anda melakukan ini secara konstan menilai keberhasilan belajar dari para siswa. Anda tahu bahwa ini terbukti dari tes pemahaman membaca yang telah diambil. Tes pemahaman membaca secara konstan bolak-balik, sebuah paragraf atau dua teks belajar yang diikuti oleh beberapa pertanyaan.

Ambilah contoh yang lain, tidak ada dokter menanyakan pertanyaan ketika pasiennya meninggal. Seorang dokter menyelang-nyeling pertanyaan selama perawatan pasien, secara konstan menilai kesehatan pasien itu. 

Mirip juga, guru efektif tidak menanyakan semua pertanyaan pada akhir diskusi, periode kelas, tayangan video, bab, perkuliahan, atau pertemuan. Guru efektif yang menginginkan pemahaman tingkat tinggi menyelang-nyeling pertanyaan melalui semua aktivitas kelas. Ini adalah apa yang riset memberitahu kita atau dengan kata lain riset telah membuktikan.

(EnglishKita.com)
Read more ...

Penayangan Video Pendidikan

Selasa, 23 Juni 2015
artikel pendidikan penayangan video, artikel pendidikan video pendidikan, artikel pendidikan tentang video pendidikan

Kapan seharusnya Anda menanyakan pertanyaan selama penayangan video?

Riset pendidikan memberitahu Anda, dan Bob Wallace, seorang guru sekolah menengah di New Jersey, menunjukkan Anda. Dia melaporkan berikut sebagai hasil dari risetnya dengan siswa-siswanya.
Dia membagi siswa-siswanya ke dalam tiga grup dan melakukan berikut:

Grup 1: Ditunjukkan para siswa sebuah penayangan video dan memberi mereka sebuah tes.

Grup 2: Diberi penjelasan singkat pada video yang akan ditayangkan dan kemudian menunjukkan video yang sama yang ditunjukkan kepada Grup 1 dan memberikan tes yang sama.

Grup 3: Diberi penjelasan singkat Grup 3 persis sama seperti ia berikan kepada Grup 2 dan kemudian menunjukkan video yang sama.

Tetapi bedanya untuk Grup 3 ini, selama penayangan video, ia sering berhenti. Selama setiap penghentian, ia melemparkan pertanyaan dan menyelenggarakan diskusi kelas. Dia kemudian memberikan tes yang sama yang ia telah berikan kepada Grup 1 dan 2.

Tebak yang mana dari tiga grup mencatat skor paling tinggi pada tes itu? Grup 3, tentu saja.

(EnglishKita.com)
Read more ...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...