Sarana Berpikir Ilmiah

Sabtu, 04 April 2015


PENGANTAR
Sarana ilmiah dan Ilmu
            Sarana merupakan alat yang membantu kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu; atau dengan kata lain, sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitannya dengan kegiatan ilmiah secara menyeluruh.
            Sarana berpikir ilmiah, dalam proses pendidikan kita, merupakan bidang studi tersendiri. Artinya, kita mempelajari sarana berpikir ilmiah ini seperti kita mempelajari berbagai cabang ilmu. Sehubungan dengan hal ini, kita harus memperhatikan dua hal. Pertama, sarana ilmiah bukan merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Seperti kita ketahui bahwa salah satu karakteristik dari ilmu, misalnya adalah penggunaan berpikir induktif dan deduktif dalam mendapatkan pengetahuan. Sarana berpikir ilmiah tidak mempergunakan cara ini dalam mendapatkan pengetahuannya. Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah kita sehari-hari. Secara sederhana, sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik. Dapat dikatakan bahwa fungsi sarana ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah dan bukan merupakan ilmu itu sendiri.
            Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran kepada orang lain. Ditinjau dari pola berpikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyandarkan diri pada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif.
            Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir yang baik pula. Salah satu langkah ke arah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah tersebut. Berpijak pada pemikiran ini maka tidak sukar untuk dimengerti mengapa mutu kegiatan keilmuan tidak mencapai taraf yang memuaskan sekiranya sarana berpikir ilmiahnya memang kurang dikuasai. Bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan penalaran yang cermat tanpa menguasai struktur bahasa yang tepat? Demikian juga bagaimana seseorang bisa melakukan generalisasi tanpa menguasai statistika?

Bahasa
            “Batas bahasaku adalah batas duniaku,” kata Wittgenstein. Tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur tidak mungkin dapat dilakukan. Tanpa bahasa manusia tidak akan berpikir secara rumit dan abstrak seperti apa yang kita lakukan dalam kegiatan ilmiah. Tanpa bahasa maka kita tak dapat mengkomunikasikan pengetahuan kita kepada orang lain.
            Bahasa memungkinkan manusia berpikir secara abstrak di mana obyek-obyek yang faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai sesuatu obyek tertentu meskipun obyek tersebut secara faktual tidak berada di tempat di mana kegiatan berpikir ilmiah dilakukan.
Transformasi obyek faktual menjadi simbol-simbol yang diwujudkan lewat perbendaharaan kata-kata ini dirangkai oleh tatabahasa untuk mengemukakan jalan pemikiran atau ekspresi perasaan. Kedua aspek bahasa ini, yakni aspek informatif dan emotif keduanya tercermin dalam bahasa yang kita pergunakan. Artinya, kalau kita berbicara maka pada hahikatnya informasi yang kita sampaikan mengandung unsur-unsur emotif, demikian juga kalau kita menyampaikan perasaan maka ekspresi itu mengandung unsur-unsur informatif. Hal ini akan semakin jelas jika kita ambil contoh, misalnya “musik dapat dianggap sebagai bentuk dari bahasa, di mana emosi terbebas dari informasi, sedangkan buku telepon memberikan kita informasi sama sekali tanpa emosi.”
Bahasa pada hakikatnya mengkomunikasikan tiga hal, yakni buah pikiran, perasaan, dan sikap. Atau seperti dinyatakan oleh Kneller bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif, dan afektif. Fungsi simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasi ilmiah, sedangkan fungsi emotif menonjol dalam komunikasi estetik. Komunikasi dengan menggunakan bahasa akan mengandung unsur simbolik dan emotif. Dalam komunikasi ilmiah sebenarnya proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur emotif agar pesan yang disampaikan bisa diterima secara reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan. Namun dalam prakteknya hal ini sulit untuk dilaksanakan kecuali informasi yang terdapat dalam buku pedoman telepon. Inilah yang merupakan salah satu kelemahan bahasa sebagai sarana komunikasi ilmiah di mana menurut Kemeny bahwa bahasa mempunyai kecenderungan emosional.
Seni merupakan kegiatan estetik yang banyak mempergunakan aspek emotif dari bahasa baik itu seni suara ataupun seni sastra. Komunikasi ilmiah mensyaratkan bentuk komunikasi yang sangat lain dari komunikasi estetik. Komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Agar komunikasi ilmiah ini berjalan dengan baik maka bahasa yang dipergunakan harus terbebas dari unsur emotif. Komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif, artinya bila si pengirim komunikasi menyampaikan suatu informasi yang katakanlah berupa x, maka si penerima komunikasi harus menerima informasi yang berupa x pula. Informasi x yang diterima harus merupakan reproduksi yang benar-benar sama dari informasi x yang dikirimkan. Oleh sebab itu maka proses komunikasi ilmiah harus bersifat jelas dan ebyektif, yakni terbebas dari unsur-unsur emotif.
Berbahasa dengan jelas artinya ialah bahwa makna yang terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan diungkapkan secara tersurat (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. Berbahasa dengan jelas artinya juga mengemukakan pendapat atau jalan pemikiran secara jelas.

Beberapa Kekurangan Bahasa
            Sebagai sarana komunikasi ilmiah maka bahasa mempunyai beberapa kekurangan. Kekurangan ini pada hakikatnya terletak pada peranan bahasa itu sendiri yang bersifat multifungsi, yakni sebagai sarana komunikasi simbolik, emotif, dan afektif. Dalam komunikasi ilmiah kita ingin menggunakan aspek simbolik saja dari ketiga fungsi tersebut tadi di mana kita ingin mengkomunikasikan informasi tanpa kaitan emotif dan afektif. Dalam kenyataannya, hal ini tidak mungkin, bahasa verbal mau tidak mau tetap mengandung ketiga unsur yang bersifat simbolik, emotif, dan afektif. Bahasa ilmiah pada hahikatnya haruslah bersifat obyektif tanpa mengandung emosi dan sikap; atau dengan perkataan lain, bahasa ilmiah haruslah bersifat antiseptik dan reproduktif.
            Kekurangan kedua terletak pada arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa. Kelemahan lain terletak pada sifat mejemuk (pluralistik) dari bahasa. Sebuah kata kadang-kadang mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda umpamanya kata ‘rumah.’ Rumah sesuai dengan arti kamus berarti hanya sebuah tempat di mana seseorang tinggal, tetapi sesuai dengan arti konotasi, rumah memiliki arti keamanan, cinta, kenyamanan, dan keluarga.
            Kelemahan ketiga bahasa adalah sering bersifat berputar-putar (sirkular) dalam mempergunakan kata-kata terutama dalam memberikan definisi. Sebagai contoh kata “data’ yang diartikan sebagai “bahan yang diolah menjadi informasi”; sedangkan “informasi” diartikan sebagai “keterangan yang didapat dari data.”

Matematika
            Matematika sebagai Bahasa. Matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk, dan emosional dari bahasa verbal.
Sifat Kuantitatif dari Matematika
            Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Demikian juga maka penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh ilmu dalam bahasa verbal semuanya bersifat kualitatif. Hal ini menyebabkan penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidak bersifat eksak, yang menyebabkan daya prediktif dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat.
            Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Pada prinsipnya matematika diperlukan oleh semua disiplin keilmuan untuk meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu tersebut.
Matematika: Sarana Berpikir Deduktif
            Berpikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan pada premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan.
Perkembangan Matematika
            Ditinjau dari perkembangannya maka ilmu dapat dibagi ke dalam tiga tahap, yakni tahap sistematika, komparatif, dan kuantitatif. Pada tahap sistematika maka ilmu mulai menggolong-golongkan obyek empiris ke dalam kategori-kategori tertentu. Dalam tahap yang kedua kita mulai melakukan perbandingan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain, ketegori yang satu dengan kategori yang lain, dan seterusnya. Tahap selanjutnya adalah tahap kuantitatif di mana kita mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang sedang kita selidiki. Bahasa verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama namun dalam tahap yang ketiga maka pengetahuan membutuhkan matematika. Lambang-lambang matematika bukan saja jelas namun juga eksak dengan mengandung informasi tentang obyek tertentu dalam dimensi-dimensi pengukuran.
            Di samping sebagai bahasa maka matematika juga berfungsi sebagai alat berpikir. Matematika, menurut Wittgenstein, tak lain adalah metode berpikir logis. Berdasarkan perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam perspektif inilah maka logika berkembang menjadi matematika, seperti disampaikan oleh Bertrand Russell, “matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika.”
            Matematika merupakan pengetahuan yang bersifat rasional yang kebenarannya tidak tergantung pada pembuktian secara empiris, melainkan pada proses penalaran deduktif.
            Bagi dunia keilmuan matematika berperan sebagai bahasa simbolik yang memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat. Matematika dalam hubungannya dengan komunikasi ilmiah mempunyai peranan ganda, kata Fehr, yakni sebagai ratu sekaligus sebagai pelayan ilmu. Di satu pihak, sebagai ratu matematika merupakan bentuk tertinggi dari logika, sedangkan di pihak lain, sebagai pelayan matematika memberikan bukan saja sistem pengorganisasian ilmu yang bersifat logis namun juga pernyataan-pernyataan dalam bentuk model matematik. Kriteria kebenaran dari matematika adalah konsisten dari berbagai postulat, definisi dan berbagai aturan permainan lainnya.
Matematika dan Peradaban
            Matematika merupakan bahasa artifisial yang dikembangkan untuk menjawab kekurangan bahasa verbal yang bersifat alamiah. Matematika menyebabkan perkembangan yang sangat cepat bagi ilmu itu sendiri.Tanpa matematika maka pengetahuan akan berhenti pada tahap kualitatif yang tidak memungkinkan untuk meningkatkan penalarannya lebih jauh. Singkatnya, bagi bidang keilmuan modern, matematika adalah sesuatu yang imperatif: sebuah sarana untuk meningkatkan kemampuan penalaran deduktif. Suatu bidang keilmuan, apa pun juga bidang pengkajiannya, bila telah menginjak kedewasaan mau tidak mau akan bersifat kuantitatif. Lewat pengkajian kualitatif dan kuantitatif inilah, ilmu sampai kepada pengetahuan yang dewasa. Analog dengan pernyataan Bertrand Russell tentang hubungan antara logika dan matematika mungkin kita bisa berkata, “Ilmu kualitatif adalah masa kecil dari ilmu kuantitatif, ilmu kuantitatif merupakan masa dewasa dari ilmu kualitatif’; di mana ilmu yang sehat, seperti juga kita manusia, adalah terus tumbuh dan mendewasa.

Statistika
            Suatu hari seorang anak kecil disuruh ayahnya membeli sebungkus korek api dengan pesan agar tidak terkecoh mendapatkan korek api yang jelek. Tidak lama kemudian anak kecil itu datang kembali dengan wajah yang berserk-seri, menyerahkan kotak korek api yang kosong dan berkata: “Korek api ini benar-benar bagus pak, semua batangnya telah saya coba dan ternyata menyala.”
            Tak seorang pun, saya kira yang bisa menyalahkan kesahihan proses penarikan kesimpulan anak kecil itu, namun bila semua pengujian dilakukan seperti ini lalu bagaimana nasib tukang duren?
            Peluang yang merupakan dasar dari teori statistika, merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi dan bahkan Eropa dalam abad pertengahan. Teori mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan oleh sarjana Muslim namun bukan dalam lingkup teori peluang. Begitu dasar-dasar peluang ini dirumuskan maka dengan cepat bidang telaahan ini berkembang.
            Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu. Abraham Demoivre (1667-1754) mengembangkan teori galat atau kekeliruan (theory of error). Pada tahun 1757 Thomas Simpson menyimpulkan bahwa terdapat suatu distribusi yang berlanjut (continuous distribution) dari suatu variabel dalam suatu frekuensi yang cukup banyak. Pierre Simon de Laplace (1749-1827) mengembangkan konsep Demoivre dan Simpson ini lebih lanjut dan menemukan distribusi normal; sebuah konsep yang mungkin paling umum dan paling banyak dipergunakan dalam analisis statistika di samping teori peluang. Disain eksperimen dikembangkan oleh Ronald Aylmer (1890-1962) di samping analisis varians dan kovarians, distribusi-z, distribusi-t, uji signifikan dan teori tentang perkiraan (theory of estimation).
Statistika dan Cara Berpikir Induktif
            Ilmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Pengujian mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Jadi dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif. Di pihak lain maka penyusunan hipotesis merupakan penarikan kesimpulan yang bersifat khas dari pernyataan yang bersifat umum dengan mempergunakan deduksi.
            Logika deduktif berpaling kepada matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulan, sedangkan logika induktif berpaling kepada statistik. Statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.
            Logika lebih banyak berhubungan dengan matematika dan jarang sekali dihubungkan dengan statistika, padahal hanya logika deduktif yang berkaitan dengan matematika sedangkan logika induktif justru berkaitan dengan statistika. Secara hakiki statistika mempunyai kedudukan yang sama dalam penarikan kesimpulan induktif seperti matematika dalam penarikan kesimpulan secara deduktif. Demikian juga penarikan kesimpulan deduktif dan induktif keduanya mempunyai kedudukan yang sama pentingnya dalam penelaahan keilmuan. Pada suatu pihak, jika kita terlalu mementing logika deduktif maka kita terjatuh kembali pada paham rasionalisme, sebaliknya di pihak lain, jika kita terlalu mementingkan logika induktif maka kita mundur kembali kepada empirisme. Ilmu dalam perkembangan sejarah peradaban manusia telah menggabungkan kedua pendekatan ini dalam bentuk metode ilmiah yang mendasarkan diri pada keseimbangan maka harus dijaga pula keseimbangan antara pengetahuan tentang matematika dan statistika ini.

Karakteristik Berpikir Induktif
            Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik. Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menarik kesimpulan secara induktif berdasarkan peluang tersebut. Dasar dari teori statistika adalah teori peluang. Teori peluang merupakan cabang dari matematika sedangkan statistika sendiri meruapakan disiplin tersendiri.
            Bahwa penguasaan statistika mutlak diperlukan untuk dapat berpikir ilmiah dengan sah sering sekali dilupakan orang. Mereka yang berkecimpung dalam kegiatan ilmiah harus dibekali dengan penguasaan statistika yang cukp agar kesimpulan yang ditariknya merupakan kesimpulan ilmiah yang sah. Statistika harus mendapat tempat yang sejajar dengan matematika agar keseimbangan berpikir deduktif dan induktif yang merupakan ciri dari berpikir ilmiah dapat dilakukan dengan baik.
            Statistika merupakan sarana berpikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah maka statistika membantu kita melakukan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadi secara kebetulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...