PENGANTAR
Sarana
ilmiah dan Ilmu
Sarana merupakan alat yang membantu
kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu; atau dengan kata lain, sarana ilmiah
mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitannya dengan kegiatan ilmiah secara
menyeluruh.
Sarana berpikir ilmiah, dalam proses
pendidikan kita, merupakan bidang studi tersendiri. Artinya, kita mempelajari
sarana berpikir ilmiah ini seperti kita mempelajari berbagai cabang ilmu.
Sehubungan dengan hal ini, kita harus memperhatikan dua hal. Pertama, sarana ilmiah bukan merupakan
kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Seperti kita
ketahui bahwa salah satu karakteristik dari ilmu, misalnya adalah penggunaan
berpikir induktif dan deduktif dalam mendapatkan pengetahuan. Sarana berpikir
ilmiah tidak mempergunakan cara ini dalam mendapatkan pengetahuannya. Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah
adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik,
sedangkan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang
memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah kita sehari-hari. Secara
sederhana, sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah dalam
melakukan fungsinya secara baik. Dapat dikatakan bahwa fungsi sarana ilmiah
adalah membantu proses metode ilmiah dan bukan merupakan ilmu itu sendiri.
Untuk dapat melakukan kegiatan
berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika,
matematika, dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang
dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir
dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran kepada orang lain.
Ditinjau dari pola berpikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir
deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyandarkan
diri pada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika mempunyai
peranan yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai
peranan penting dalam berpikir induktif.
Kemampuan berpikir ilmiah yang baik
harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir yang baik pula. Salah satu
langkah ke arah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan
masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah
tersebut. Berpijak pada pemikiran ini maka tidak sukar untuk dimengerti mengapa
mutu kegiatan keilmuan tidak mencapai taraf yang memuaskan sekiranya sarana
berpikir ilmiahnya memang kurang dikuasai. Bagaimana mungkin seseorang bisa
melakukan penalaran yang cermat tanpa menguasai struktur bahasa yang tepat?
Demikian juga bagaimana seseorang bisa melakukan generalisasi tanpa menguasai
statistika?
Bahasa
“Batas bahasaku adalah batas
duniaku,” kata Wittgenstein. Tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini maka
kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur tidak mungkin dapat dilakukan.
Tanpa bahasa manusia tidak akan berpikir secara rumit dan abstrak seperti apa
yang kita lakukan dalam kegiatan ilmiah. Tanpa bahasa maka kita tak dapat
mengkomunikasikan pengetahuan kita kepada orang lain.
Bahasa memungkinkan manusia berpikir
secara abstrak di mana obyek-obyek yang faktual ditransformasikan menjadi
simbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka
manusia dapat berpikir mengenai sesuatu obyek tertentu meskipun obyek tersebut
secara faktual tidak berada di tempat di mana kegiatan berpikir ilmiah
dilakukan.
Transformasi
obyek faktual menjadi simbol-simbol yang diwujudkan lewat perbendaharaan
kata-kata ini dirangkai oleh tatabahasa untuk mengemukakan jalan pemikiran atau
ekspresi perasaan. Kedua aspek bahasa ini, yakni aspek informatif dan emotif
keduanya tercermin dalam bahasa yang kita pergunakan. Artinya, kalau kita
berbicara maka pada hahikatnya informasi yang kita sampaikan mengandung
unsur-unsur emotif, demikian juga kalau kita menyampaikan perasaan maka
ekspresi itu mengandung unsur-unsur informatif. Hal ini akan semakin jelas jika
kita ambil contoh, misalnya “musik dapat dianggap sebagai bentuk dari bahasa,
di mana emosi terbebas dari informasi, sedangkan buku telepon memberikan kita
informasi sama sekali tanpa emosi.”
Bahasa
pada hakikatnya mengkomunikasikan tiga hal, yakni buah pikiran, perasaan, dan
sikap. Atau seperti dinyatakan oleh Kneller bahasa dalam kehidupan manusia
mempunyai fungsi simbolik, emotif, dan afektif. Fungsi simbolik dari bahasa
menonjol dalam komunikasi ilmiah, sedangkan fungsi emotif menonjol dalam
komunikasi estetik. Komunikasi dengan menggunakan bahasa akan mengandung unsur
simbolik dan emotif. Dalam komunikasi ilmiah sebenarnya proses komunikasi itu
harus terbebas dari unsur emotif agar pesan yang disampaikan bisa diterima
secara reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan. Namun dalam
prakteknya hal ini sulit untuk dilaksanakan kecuali informasi yang terdapat
dalam buku pedoman telepon. Inilah yang merupakan salah satu kelemahan bahasa
sebagai sarana komunikasi ilmiah di mana menurut Kemeny bahwa bahasa mempunyai
kecenderungan emosional.
Seni
merupakan kegiatan estetik yang banyak mempergunakan aspek emotif dari bahasa
baik itu seni suara ataupun seni sastra. Komunikasi ilmiah mensyaratkan bentuk
komunikasi yang sangat lain dari komunikasi estetik. Komunikasi ilmiah
bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Agar komunikasi
ilmiah ini berjalan dengan baik maka bahasa yang dipergunakan harus terbebas
dari unsur emotif. Komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif, artinya bila
si pengirim komunikasi menyampaikan suatu informasi yang katakanlah berupa x,
maka si penerima komunikasi harus menerima informasi yang berupa x pula.
Informasi x yang diterima harus merupakan reproduksi yang benar-benar sama dari
informasi x yang dikirimkan. Oleh sebab itu maka proses komunikasi ilmiah harus
bersifat jelas dan ebyektif, yakni terbebas dari unsur-unsur emotif.
Berbahasa
dengan jelas artinya ialah bahwa makna yang terkandung dalam kata-kata yang
dipergunakan diungkapkan secara tersurat (eksplisit) untuk mencegah pemberian
makna yang lain. Berbahasa dengan jelas artinya juga mengemukakan pendapat atau
jalan pemikiran secara jelas.
Beberapa Kekurangan Bahasa
Sebagai sarana komunikasi ilmiah
maka bahasa mempunyai beberapa kekurangan. Kekurangan ini pada hakikatnya
terletak pada peranan bahasa itu sendiri yang bersifat multifungsi, yakni
sebagai sarana komunikasi simbolik, emotif, dan afektif. Dalam komunikasi
ilmiah kita ingin menggunakan aspek simbolik saja dari ketiga fungsi tersebut
tadi di mana kita ingin mengkomunikasikan informasi tanpa kaitan emotif dan
afektif. Dalam kenyataannya, hal ini tidak mungkin, bahasa verbal mau tidak mau
tetap mengandung ketiga unsur yang bersifat simbolik, emotif, dan afektif.
Bahasa ilmiah pada hahikatnya haruslah bersifat obyektif tanpa mengandung emosi
dan sikap; atau dengan perkataan lain, bahasa ilmiah haruslah bersifat
antiseptik dan reproduktif.
Kekurangan kedua terletak pada arti
yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa.
Kelemahan lain terletak pada sifat mejemuk (pluralistik) dari bahasa. Sebuah
kata kadang-kadang mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda umpamanya kata
‘rumah.’ Rumah sesuai dengan arti kamus berarti hanya sebuah tempat di mana
seseorang tinggal, tetapi sesuai dengan arti konotasi, rumah memiliki arti
keamanan, cinta, kenyamanan, dan keluarga.
Kelemahan ketiga bahasa adalah
sering bersifat berputar-putar (sirkular) dalam mempergunakan kata-kata
terutama dalam memberikan definisi. Sebagai contoh kata “data’ yang diartikan
sebagai “bahan yang diolah menjadi informasi”; sedangkan “informasi” diartikan
sebagai “keterangan yang didapat dari data.”
Matematika
Matematika sebagai Bahasa.
Matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur,
majemuk, dan emosional dari bahasa verbal.
Sifat Kuantitatif dari Matematika
Matematika mengembangkan bahasa
numerik yang memungkinkan untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Bahasa
verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Demikian
juga maka penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh ilmu dalam bahasa verbal
semuanya bersifat kualitatif. Hal ini menyebabkan penjelasan dan ramalan yang
diberikan oleh bahasa verbal tidak bersifat eksak, yang menyebabkan daya
prediktif dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat.
Sifat kuantitatif dari matematika
ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu. Matematika memungkinkan
ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Pada
prinsipnya matematika diperlukan oleh semua disiplin keilmuan untuk meningkatkan
daya prediktif dan kontrol dari ilmu tersebut.
Matematika: Sarana Berpikir
Deduktif
Berpikir deduktif adalah proses
pengambilan kesimpulan yang didasarkan pada premis-premis yang kebenarannya
telah ditentukan.
Perkembangan Matematika
Ditinjau dari perkembangannya maka
ilmu dapat dibagi ke dalam tiga tahap, yakni tahap sistematika, komparatif, dan
kuantitatif. Pada tahap sistematika maka ilmu mulai menggolong-golongkan obyek
empiris ke dalam kategori-kategori tertentu. Dalam tahap yang kedua kita mulai
melakukan perbandingan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain, ketegori
yang satu dengan kategori yang lain, dan seterusnya. Tahap selanjutnya adalah
tahap kuantitatif di mana kita mencari hubungan sebab akibat tidak lagi
berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek
yang sedang kita selidiki. Bahasa verbal berfungsi dengan baik dalam kedua
tahap yang pertama namun dalam tahap yang ketiga maka pengetahuan membutuhkan
matematika. Lambang-lambang matematika bukan saja jelas namun juga eksak dengan
mengandung informasi tentang obyek tertentu dalam dimensi-dimensi pengukuran.
Di samping sebagai bahasa maka
matematika juga berfungsi sebagai alat berpikir. Matematika, menurut
Wittgenstein, tak lain adalah metode berpikir logis. Berdasarkan
perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin rumit dan
membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam perspektif inilah maka
logika berkembang menjadi matematika, seperti disampaikan oleh Bertrand Russell,
“matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil
matematika.”
Matematika merupakan pengetahuan
yang bersifat rasional yang kebenarannya tidak tergantung pada pembuktian
secara empiris, melainkan pada proses penalaran deduktif.
Bagi dunia keilmuan matematika
berperan sebagai bahasa simbolik yang memungkinkan terwujudnya komunikasi yang
cermat dan tepat. Matematika dalam hubungannya dengan komunikasi ilmiah
mempunyai peranan ganda, kata Fehr, yakni sebagai ratu sekaligus sebagai
pelayan ilmu. Di satu pihak, sebagai ratu matematika merupakan bentuk tertinggi
dari logika, sedangkan di pihak lain, sebagai pelayan matematika memberikan
bukan saja sistem pengorganisasian ilmu yang bersifat logis namun juga
pernyataan-pernyataan dalam bentuk model matematik. Kriteria kebenaran dari
matematika adalah konsisten dari berbagai postulat, definisi dan berbagai
aturan permainan lainnya.
Matematika dan Peradaban
Matematika merupakan bahasa artifisial
yang dikembangkan untuk menjawab kekurangan bahasa verbal yang bersifat
alamiah. Matematika menyebabkan perkembangan yang sangat cepat bagi ilmu itu
sendiri.Tanpa matematika maka pengetahuan akan berhenti pada tahap kualitatif
yang tidak memungkinkan untuk meningkatkan penalarannya lebih jauh. Singkatnya,
bagi bidang keilmuan modern, matematika adalah sesuatu yang imperatif: sebuah
sarana untuk meningkatkan kemampuan penalaran deduktif. Suatu bidang keilmuan,
apa pun juga bidang pengkajiannya, bila telah menginjak kedewasaan mau tidak
mau akan bersifat kuantitatif. Lewat pengkajian kualitatif dan kuantitatif
inilah, ilmu sampai kepada pengetahuan yang dewasa. Analog dengan pernyataan
Bertrand Russell tentang hubungan antara logika dan matematika mungkin kita bisa
berkata, “Ilmu kualitatif adalah masa kecil dari ilmu kuantitatif, ilmu
kuantitatif merupakan masa dewasa dari ilmu kualitatif’; di mana ilmu yang
sehat, seperti juga kita manusia, adalah terus tumbuh dan mendewasa.
Statistika
Suatu hari seorang anak kecil
disuruh ayahnya membeli sebungkus korek api dengan pesan agar tidak terkecoh
mendapatkan korek api yang jelek. Tidak lama kemudian anak kecil itu datang
kembali dengan wajah yang berserk-seri, menyerahkan kotak korek api yang kosong
dan berkata: “Korek api ini benar-benar bagus pak, semua batangnya telah saya
coba dan ternyata menyala.”
Tak seorang pun, saya kira yang bisa
menyalahkan kesahihan proses penarikan kesimpulan anak kecil itu, namun bila
semua pengujian dilakukan seperti ini lalu bagaimana nasib tukang duren?
Peluang yang merupakan dasar dari
teori statistika, merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam pemikiran
Yunani Kuno, Romawi dan bahkan Eropa dalam abad pertengahan. Teori mengenai kombinasi
bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan oleh sarjana Muslim
namun bukan dalam lingkup teori peluang. Begitu dasar-dasar peluang ini
dirumuskan maka dengan cepat bidang telaahan ini berkembang.
Konsep statistika sering dikaitkan dengan
distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu. Abraham
Demoivre (1667-1754) mengembangkan teori galat atau kekeliruan (theory of error). Pada tahun 1757 Thomas
Simpson menyimpulkan bahwa terdapat suatu distribusi yang berlanjut (continuous distribution) dari suatu
variabel dalam suatu frekuensi yang cukup banyak. Pierre Simon de Laplace
(1749-1827) mengembangkan konsep Demoivre dan Simpson ini lebih lanjut dan
menemukan distribusi normal; sebuah konsep yang mungkin paling umum dan paling
banyak dipergunakan dalam analisis statistika di samping teori peluang. Disain
eksperimen dikembangkan oleh Ronald Aylmer (1890-1962) di samping analisis
varians dan kovarians, distribusi-z, distribusi-t, uji signifikan dan teori
tentang perkiraan (theory of estimation).
Statistika dan Cara Berpikir
Induktif
Ilmu secara sederhana dapat
didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Pengujian
secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang
membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Pengujian mengharuskan
kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat
individual. Jadi dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika
induktif. Di pihak lain maka penyusunan hipotesis merupakan penarikan
kesimpulan yang bersifat khas dari pernyataan yang bersifat umum dengan
mempergunakan deduksi.
Logika deduktif berpaling kepada
matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulan, sedangkan logika
induktif berpaling kepada statistik. Statistika merupakan pengetahuan untuk
melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.
Logika lebih banyak berhubungan
dengan matematika dan jarang sekali dihubungkan dengan statistika, padahal
hanya logika deduktif yang berkaitan dengan matematika sedangkan logika
induktif justru berkaitan dengan statistika. Secara hakiki statistika mempunyai
kedudukan yang sama dalam penarikan kesimpulan induktif seperti matematika
dalam penarikan kesimpulan secara deduktif. Demikian juga penarikan kesimpulan
deduktif dan induktif keduanya mempunyai kedudukan yang sama pentingnya dalam
penelaahan keilmuan. Pada suatu pihak, jika kita terlalu mementing logika
deduktif maka kita terjatuh kembali pada paham rasionalisme, sebaliknya di
pihak lain, jika kita terlalu mementingkan logika induktif maka kita mundur
kembali kepada empirisme. Ilmu dalam perkembangan sejarah peradaban manusia
telah menggabungkan kedua pendekatan ini dalam bentuk metode ilmiah yang
mendasarkan diri pada keseimbangan maka harus dijaga pula keseimbangan antara
pengetahuan tentang matematika dan statistika ini.
Karakteristik Berpikir Induktif
Logika induktif tidak memberikan
kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat
ditarik. Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menarik
kesimpulan secara induktif berdasarkan peluang tersebut. Dasar dari teori
statistika adalah teori peluang. Teori peluang merupakan cabang dari matematika
sedangkan statistika sendiri meruapakan disiplin tersendiri.
Bahwa penguasaan statistika mutlak
diperlukan untuk dapat berpikir ilmiah dengan sah sering sekali dilupakan
orang. Mereka yang berkecimpung dalam kegiatan ilmiah harus dibekali dengan
penguasaan statistika yang cukp agar kesimpulan yang ditariknya merupakan
kesimpulan ilmiah yang sah. Statistika harus mendapat tempat yang sejajar
dengan matematika agar keseimbangan berpikir deduktif dan induktif yang
merupakan ciri dari berpikir ilmiah dapat dilakukan dengan baik.
Statistika merupakan sarana berpikir
yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari
perangkat metode ilmiah maka statistika membantu kita melakukan generalisasi
dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan
terjadi secara kebetulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar