Kecerdasan Kognitif Bukan Segala-galanya

Sabtu, 25 Oktober 2014



A  PENDAHULUAN 

pendidikan, kognitif, afektif, psikomotorik
Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Bloom bahwa tujuan akhir dari proses belajar dikelompokkan menjadi tiga sasaran, yaitu penguasaan pengetahuan dan teknologi (kognitif), penguasaan sikap, nilai, dan moral (afektif), dan penguasaan psikomotorik (keterampilan). Jika ketiga sasaran tersebut dicapai oleh peserta didik, maka dia akan menjadi manusia yang utuh, seseorang yang tidak hanya terampil dan pintar, tetapi juga bersikap mulia, berbudi luhur, dan bermoral. Bila praktek pembelajaran terlalu menekankan pada ranah kognitif dan psikomotorik dan hampir-hampir lupa pada ranah afektif maka peserta didik yang dihasilkan akan menjadi manusia yang pandai dan terampil tetapi tidak bermoral dan tidak berbudi pekerti.
Pendidikan harus ditujukan kepada pengembangan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik agar ranah-ranah itu dapat berkembang secara wajar dan seimbang. Pendidikan seharusnya berusaha dan mengupayakan perkembangan secara menyeluruh dari ketiga ranah tersebut secara seimbang. Pendidikan yang hanya mengarah pada perkembangan satu ranah saja, tidak lain identik dengan pendidikan yang bersifat parsial. Dengan demikian, bukan suatu ilusi bilamana hasil yang mungkin dicapai paling tidak berupa keseimbangan pengembangan ketiga ranah tersebut yang tidak semata didominasi oleh salah satu ranah, tetapi merupakan sinergi dari ketiga ranah tersebut.
Pada umumnya orang meyakini bahwa keberhasilan seseorang ditentukan oleh tingkat intelektualitasnya. Semakin tinggi IQ seseorang dikatakan bahwa orang tersebut akan mempunyai derajat kesuksesan yang lebih tinggi di pekerjaan, sekolah, bahkan dalam hidupnya. Maka dari itu banyak lembaga pendidikan yang lebih mementingkan pencapaian tingkat intelektualitas (ranah kognitif) peserta didiknya daripada mementingkan ranah afektif (sikap, nilai, moral). Padahal studi terakhir menunjukkan bahwa keberhasilan seseorang sebagian besar ditentukan oleh karakternya dan sebagian kecil saja oleh intelektualitasnya.
Pendidikan karakter, terutama yang menyangkut budi pekerti dan akhlak mulia bisa dilakukan melalui karya seni atau yang sesuai dengan konsep Islam. Karya seni, terutama yang berbentuk prosa, puisi, cerita yang dramatik, dapat digunakan sebagai sarana untuk pendidikan moral atau budi pekerti. Pendidikan akhlak mulia bisa juga dilakukan yang sesuai dengan konsep Islam. Dalam Islam akhlak dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu akhlak kepada Allah, akhlak kepada diri sendiri, akhlak kepada keluarga, akhlak kepada tetangga, dan akhlak kepada makhluk lainnya. Begitu lengkapnya akhlak dalam Islam sehingga semuanya tergantung pada kita bagaimana mengajarkannya kepada anak didik kita.

B  PERMASALAHAN
Intellectuality is not enough. Eighty-five percent (85%) of your success will come from your character, only 15% will come from your intellectuality (IQ).”
-ESQ Business School
Terjemahan bebasnya:
“Intelektualitas tidak cukup. Delapan puluh lima persen (85%) keberhasilan seseorang berasal dari karakternya, dan hanya 15% berasal dari intelektualitasnya (IQ),” demikian yang penulis kutip dari ESQ Business School.
Hal ini berlawanan dengan pengetahuan umum bahwa semakin tinggi IQ seseorang akan semakin pandai dan berhasil seseorang tersebut. Akhirnya, kepandaianlah—kemampuan akademik—yang dikejar, dipuja-puja, dan bahkan dijadikan tolok ukur keberhasilan seseorang yang boleh dikatakan keberhasilan yang semu. Maka dapat dimengerti jikalau banyak lembaga pendidikan yang lebih menitik-beratkan pada ranah kognitif dan mengesampingkan dua ranah lainnya.
Aspek etika dalam pendidikan belakangan ini kurang mendapatkan perhatian dari para pendidik. Kita cenderung mendidik anak kita menjadi cerdas tanpa mempersiapkan mereka dengan seksama agar kecerdasan itu dilengkapi dengan nilai-nilai moral yang luhur. Para pendidik bukan saja lupa memasukkan hal tersebut dalam materi kurikulumnya namun juga gagal memberikan teladan dalam proses belajar mengajar.
Dan selanjutnya, apa yang terjadi dengan keluaran dari lembaga pendidikan. Tak lain adalah tamatan yang miskin budi pekerti, kelulusan yang miskin hati nurani.
Dulu kita meyakini bahwa IQ adalah penentu keberhasilan individu di pekerjaan, di sekolah dan bahkan dalam kehidupannya, semakin banyak bukti bahwa IQ memang bukan segala-galanya. Keld Jensen, dalam artikelnya, “Intelligence is Overrated: What You Really Need to Succeed,” mepaparkan betapa John F. Kennedy yang telah begitu terbukti suksesnya, hanya memiliki IQ 119. Penelitian terbaru mengatakan bahwa 85 persen kesuksesan individu ditentukan oleh faktor-faktor human engineering atau karakter seseorang, sementara sisanya, yaitu sebesar 15 persen berasal dari keterampilan teknis, dan bukan semata kecerdasan umum.
Tidak terbantahkan lagi, sumber kekayaan manusia, sebagai makhluk tertinggi, selain pada akal budinya, juga pada emosinya. Tidak salah bila Daniel Goleman membuat heboh dunia dengan bukunya Emotional Intelligence: the ability to identify, assess, and control the emotions of oneself, of others, and of groups. Kita jelas tidak bisa lagi mengelak dari kenyataan bahwa human capital didominasi faktor kepribadian, yang tidak terlalu bergantung pada kecerdasan, tetapi lebih pada sistem emosional yang beroperasi di dalam kepribadian manusia. Dengan pemahaman bahwa aspek emosional lebih penting daripada sekedar kecerdasan kognitif, masihkah kita membiarkan diri kita tidak menelaah perasaan orang lain saat berhubungan dengan kita? Tidakkah kita perlu menunjukkan urgensi untuk memanfaatkan emosi ketika membangun hubungan sehingga tercipta chemistry yang lebih nyaman? Bukankah semua orang sekarang meyakini bahwa social capital lebih mempan daripada financial capital?

C  PEMBAHASAN
            Dalam bahasa Inggris pendidikan diistilahkan ‘to educate’ yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual (Muhajir, 2000:20). Banyak pendapat yang berlainan tentang pendidikan. Walaupun demikian, pendidikan berjalan terus tanpa menunggu keseragaman arti.
            Dasar hakiki diperlukannya pendidikan bagi peserta didik adalah karena manusia adalah makhluk susila yang dapat dibina dan diarahkan untuk mencapai derajat kesusilaan.
            Fungsi utama pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak, kepribadian serta peradaban yang bermartabat dalam hidup dan kehidupan atau dengan kata lain pendidikan berfungsi memuliakan manusia agar menjadi manusia yang benar sesuai dengan norma yang dijadikan landasannya.
Sebelum melangkah lebih jauh marilah kita simak tentang definisi belajar dan pembelajaran yang dikemukakan oleh para ahli. Di antaranya adalah yang dikemukakan oleh A. Chaedar Alwasilah dan para ahli psikologi.
            Dari sekian banyak definisi pembelajaran atau learning, penulis juga sependapat dengan apa yang dipilih oleh A. Chaedar Alwasilah (dalam Johnson, 2010:18). Dia memilih dua definisi berikut ini: (1) “A relatively permanent change in response potentiality which occurs as a result of reinforced practice” dan (2) “a change in human disposition or capability, which can be retained, and which is not simply ascribable to the process of growth.” Dari dua definisi ini ada tiga prinsip yang layak diperhatikan, A. Chaedar Alwasilah menambahkan. Pertama, belajar menghasilkan perubahan perilaku anak didik yang relatif permanen. Artinya, peran penggiat pendidikan—khususnya guru dan dosen—adalah sebagai pelaku perubahan (agent of change). Kedua, anak didik memiliki potensi dan kemampuan atau kompetensi yang merupakan benih kodrati untuk ditumbuhkembangkan secara terus-menerus. Maknanya, pendidikan seyogianya menyirami benih kodrati ini hingga tumbuh subur dan berbuah. Proses belajar- mengajar, dengan demikian, adalah optimalisasi potensi diri sehingga dicapailah kualitas yang ideal, apabila tidak dikatakan sempurna, dan relatif permanen. Ketiga, perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh alami linear sejalan dengan proses kehidupan. Artinya, proses belajar-mengajar memang merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri, tetapi ia dirancang secara khusus, dan diniati demi tercapainya kondisi atau kualitas ideal seperti disebut di atas. Ketiga prinsip di atas menegaskan definisi belajar. Definisi ini secara teoretis hampir diterima semua pihak bahwa begitulah sejatinya belajar dalam proses pendidikan.
Idealnya, siswa pergi ke sekolah mestinya untuk menimba pengetahuan, belajar keterampilan, dan mengembangkan nilai-nilai. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Harry dan Rosemary (2009:7): “School is where people go to acquire knowledge (cognitive domain), learn skills (psichomotoric domain), and develop values (affective domain) that will make them productive citizens and help them grow to their fullest potential as human beings.”
Para ahli psikologi sering kali mendefinisikan bahwa belajar adalah perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman. Belajar yang didefinisikan sebagai perubahan perilaku, mencakup pertumbuhan-pertumbuhan afektif, psikomotorik, dan kognitif yang tidak dihasilkan oleh sebab-sebab lain. Misalnya, perilaku yang berubah karena kelelahan, obat-obatan atau kematangan, tidak dianggap sebagai belajar.
Bloom (Woolfolk dan Nicolich, 1984:390 dalam Sunarto, 2008:29) mengemukakan bahwa tujuan akhir dari proses belajar dikelompokkan menjadi tiga sasaran, yaitu penguasaan pengetahuan dan teknologi (kognitif), penguasaan sikap, nilai, dan moral (afektif), dan penguasaan psikomotorik (keterampilan). Kecakapan motorik (psikomotorik) merupakan kemampuan untuk melakukan koordinasi kerja saraf motorik yang dilakukan oleh saraf pusat untuk melakukan kegiatan.
Perlu kita ketahui bahwa tujuan pendidikan sesuai dengan taksonomi Bloom dibedakan menjadi tiga ranah sesuai dengan cara belajar siswa, yaitu:
Ranah Psikomotorik. Ranah psikomotorik menekankan pada kemampuan gerak fisik atau keterampilan.
Ranah Afektif. Ranah afektif menekankan pada penguasaan sikap, nilai, moral, perasaan, emosi.
Ranah Kognitif. Ranah kognitif menekankan pada kemampuan penguasaan pengetahuan dan teknologi.
Ranah kognitif dikelompokkan menjadi 6 subkategori yang tersusun secara hierarki yang diawali dari tingkat berpikir yang terendah (knowledge atau pengetahuan) dan disusul tingkat berpikir berikutnya, pengertian (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation). Keenam kemampuan tersebut bersifat hierarki, artinya untuk mencapai tingkatan paling tinggi siswa harus sudah memiliki kemampuan sebelumnya. Urutan nomor satu menunjukkan tingkatan berpikir yang paling rendah (C1), yaitu mengingat materi. Sedangkan urutan keenam menunjukkan tingkat berpikir yang paling tinggi (C6). Dalam kategori ini siswa sudah mampu memberikan evaluasi terhadap suatu obyek, permasalahan, atau opini.
            Konsepsi pengajaran tradisional yang mementingkan perkembangan intelektual seharusnya berubah. Sudah saatnya kita meninggalkan proses pembelajaran yang menekankan pada ranah kognitif rendah khususnya pembelajaran yang diarahkan kepada ingatan (C1) untuk menuju ke tangga taksonomi-Bloom tingkat tinggi. Praktek pembelajaran yang terlalu menekankan pada ranah kognitif dan psikomotorik hampir-hampir lupa pada ranah afektif. Hasil tes inteligensi yang selama ini dilaksanakan belum terkait dengan beberapa bidang belajar seperti keterampilan motorik, musik, seni, dan olah raga. Hasil tes inteligensi lebih banyak berhubungan dengan keberhasilan atau kemampuan bidang akademik. Sebagai implikasinya perencanaan pendidikan lebih memperhatikan kemampuan atau bakat akademik daripada kemampuan-kemampuan yang lain untuk dijadikan dasar pertimbangan. Sekolah seharusnya lebih memperhatikan seluruh pribadi peserta didik, baik mengenai segi emosi, sosial, jasmani maupun segi intelektualnya.  Dengan langkah, sekolah berusaha dengan sengaja mengembangkan semua aspek pribadi anak dengan memberikan bahan pelajaran yang sesuai dan dengan cara penyampaian yang bervariasi. Atau yang lebih dikenal dengan mengajar dengan menerapkan multi metode dan menggunakan alat bantu mengajar (teaching aids).
Sebagai individu sebenarnya pribadi anak itu tidak dapat dipecah-pecah menjadi beberapa bagian yang terpisah-pisah. Dalam segala tindakannya manusia itu bersikap sebagai suatu keseluruhan yang utuh.
Untuk mengetahui kemajuan proses berpikir peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran digunakanlah tes. Hasil tes inteligensi yang selama ini dilaksanakan belum terkait dengan ranah afektif dan ranah psikomotorik. Hasil tes inteligensi lebih banyak berhubungan dengan keberhasilan atau kemampuan bidang akademik. Lalu apa dan bagaimana mengukur perkembangan keterampilan manual, serta perkembangan nurani peserta didik, yang oleh Bloom dikelompokkan pada ranah psikomotorik dan ranah afektif. Selama ini, kedua ranah ini kurang mendapat penekanan dalam proses pembinaan dan pengembangan di sekolah. Upaya ke arah pembinaan dan pengembangan ranah kedua dan ketiga ini sebenarnya secara bertahap sudah dilakukan antara lain dengan pengadaan fasilitas laboratorium IPA, peralatan olah raga, dan pelaksanaan penataran guru mata pelajaran dan sebagainya. Namun dampak upaya ini di sekolah kurang tampak, malah banyak peralatan dan bahan kimia yang rusak atau ditelantarkan.
Marilah kita bertekad untuk menekuni alat ukur non-tes sebagaimana kita menekuni alat ukur tes. Di samping itu, kita berharap agar supaya pemerintah, dalam hal ini Pusat Pengujian, Balitbang, Kementerian Pendidikan Nasional, memberikan upaya yang sama, baik pada pengembangan tes maupun pengembanagn non-tes.
Sekiranya dua pertanyaan berikut ini kita sampaikan kepada peserta didik, bagaimanakah pola jawaban mereka?
1.      Siapakah presiden keempat Republik Indonesia?
2.      Apakah kalian menyenangi pelajaran bahasa Inggris?
Kita setuju bahwa pola jawaban untuk masing-masing pertanyaan adalah:
Hampir semua peserta didik memberikan jawaban yang sama, yaitu:
Presiden R.I. keempat adalah K.H. Abdurahman Wahid.
Sedangkan pertanyaan kedua jawabannya bervariasi ada yang sangat senang, ada yang senang, ada yang biasa saja, ada yang tidak senang, dan ada yang sangat tidak senang atau benci.
Perbedaan pola jawaban ini terjadi karena materi pertanyaan pertama mengenai materi yang dipelajari di sekolah, yaitu bahan yang harus diingat jadi berkaitan dengan ranah kognitif (proses berpikir C1). Sedangkan pertanyaan kedua mengenai minat, termasuk pada ranah afektif. Masing-masing memiliki minat tertentu yang belum tentu sama dengan siswa lain. Dengan kata lain, untuk mengetahui nurani seseorang, kurang tepat atau tidak pada tempatnya kalau pertanyaan disampaikan secara langsung.
Bagaimana pendapat kita kalau pertanyaan kedua di atas disampaikan oleh guru bahasa Inggris kepada anak didiknya langsung? Setujukah kita bahwa pola jawabannya akan berbeda, yaitu hampir tidak ada yang tidak suka dan yang sangat tidak suka. Mengapa terjadi pergeseran bukankah pertanyaannya sama, yang menjawab orangnya juga sama.
Kepada kelompok anak didik yang sama kita sampaikan pertanyaan berikut: Anak-anak! Ini sepotong papan (sambil ditunjukkan) lebar 30 cm, tebal 1,5 cm, dan panjang 2 m, berapa lama waktu yang kalian perlukan untuk memotong papan ini sehingga masing-masing panjangnya menjadi 1 meter? Jawaban yang diterima akan berbeda-beda, dan kalau mereka mencoba memotongnya akan diperoleh angka pelaksanaan yang berbeda dengan angka yang mereka perkirakan. 
Dari tiga pertanyaan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengukur ranah afektif dan ranah psikomotorik tidak sama dengan ranah kognitif. Tes merupakan alat ukur yang tepat untuk digunakan mengukur hasil belajar yang berhubungan dengan ranah kognitif. Mengukur ranah afektif dan ranah psikomotorik lebih sukar pelaksanaannya. Pakar pendidikan sepakat bahwa untuk mengukur ranah tersebut sebaiknya dilakukan dengan pengamatan (observasi) dengan mempertimbangkan semua kebaikannya dan keterbatasannya.
            Untuk mencapai sasaran penguasaan sikap, nilai, dan moral pencapaiannya dapat melalui penyajian karya seni dan yang sesuai dengan konsep Islam.
Pendidikan Budi Pekerti Melalui Karya Seni
Pendidikan budi pekerti melalui karya seni. Why not?
Literatur mempunyai banyak fungsi dan penggunaan. Belakangan, literatur memiliki tujuan terapi. Anak-anak dan narapidana yang terganggu jiwanya telah terbantu oleh keterlibatan dramatik mereka dalam prosa, puisi, dan cerita atau adegan yang dramatik.
Semua fungsi literatur yang telah disebutkan memiliki satu elemen yang umum. Dalam setiap kasus, pembaca literatur terlibat atau hanyut dalam berbagai tipe pengalaman karena setiap penggal literatur mengungkapkan sebuah tipe pengalaman tertentu, yang sang penulis ingin bagi dengan yang lainnya. Melalui Oedipus, Sophocles menginginkan kita untuk melihat perjuangan yang lebih dalam dari seorang lelaki yang sombong dan perkasa yang dengan pelan-pelan dipaksa untuk mengakui dan mencapai kata sepakat mengenai kebenaran yang sama sekali tidak menyenangkan bahwa dia secara tidak disengaja telah dinyatakan bersalah membunuh ibunya. Shakespeare menghendaki kita untuk memahami melalui Julius Caesar bahwa ambisi dan kelemahan manusia cenderung mengarah ke bencana alam. Setiap penulis menghendaki kita untuk terlibat dalam pengalamannya melalui literatur.
Welleck dan Warren (1956:150) mendefinisikan literatur sebagai “suatu penyebab pengalaman yang potensial.” Definisi ini menyiratkan bahwa literatur adalah “sesuatu yang hidup”—suatu organisem yang hidup dengan kekuatannya untuk mempengaruhi makhluk yang lain. Literatur, tentu saja, tidak dapat mempengaruhi orang lain tanpa dibacanya, didengarnya, dan dibaginya. Pembaca diharuskan membawa pengalaman yang potensial yang ada pada literatur ke dalam pengungkapan (ekspresi) yang aktif. Dengan membaca literatur secara afektif, kita mengaktifkan pengalaman yang potensial dalam literatur. Coba kita perhatikan contoh cerita singkat berikut ini.
The Lion and the Mouse
Once when a lion was asleep a little mouse began running up and down upon him. This soon weakened the lion who placed his huge paw upon him and opened his big jaw to swallow him. “Pardon, O King,” cried the little mouse. “Forgive me this time, I shall never forget it. Who knows that I may be able to do you a turn some of these days?” The lion was so tickled at the idea of the mouse being able to help him that he lifted up his paw and let him go.
Some time after the lion was caught in a trap, and the hunters, who desired to carry him alive to the king, tied him to a tree while they went in a search of a wagon to carry him on. Just then the little mouse happened to pass by, and seeing the sad situation in which the lion was, went up to him and gnawed away the ropes that bound the king of the beasts. “Was I not right?”, said the little mouse.
Terjemahan bebasnya:
Sang Macan dan Si Tikus
            Suatu waktu ketika seekor macan sedang tidur seekor tikus kecil mulai berlarian naik dan turun di atas seekor macan tersebut. Ini tentu saja segera membangunkan macan tersebut yang telah menempatkan cakar besarnya di atas dan membuka rahang besarnya untuk menelannya. “Maaf, O Raja,” teriak tikus kecil itu. “Maafkan saya kali ini, saya tidak akan melupakannya. Siapa tahu bahwa saya mungkin dapat berbuat untuk kamu giliran beberapa hari ini? Sang macan begitu tergelitik pada gagasan si tikus yang dapat membantu dia, hingga sang macan mengangkat cakarnya dari cengkraman dan membiarkan si tikus pergi.
            Beberapa waktu setelah si macan tersangkut dalam perangkap, dan para pemburu, yang ingin sekali membawanya hidup-hidup ke raja, mengikat dia ke sebuah pohon selagi mereka (pemburu) pergi mencari sebuah kendaraan untuk membawanya di atas kendaraan tersebut. Justru kemudian si tikus kecil entah mengapa pas lewat, dan melihat situasi gawat di situ sang macan berada, menghampirinya dan menggerogoti tali yang mengikat raja binatang buas itu. “Apakah saya tidak benar?”, kata si tikus kecil itu.
            Sebuah cerita yang sederhana dan menarik, bukan? Meskipun tokoh-tokohnya hanya binatang, dan tempat kejadiannya tidak rumit, kita belajar pelajaran moral yang baik, atau tema, dari perilaku mereka, misalnya ‘Little friends may prove great friends.” (Teman yang sepele, yang tak berarti mungkin terbukti sebagai teman yang hebat, yang dapat menolong dalam kesulitan.) Pelajaran moral yang dapat diambil adalah kita sebagai makhluk sosial seharusnya saling tolong menolong dan jangan saling membinasakan.
Jadi dengan demikian karya seni—terutama prosa, puisi, dan cerita dramatik—ditujukan untuk manusia dengan harapan bahwa penciptanya dan obyek yang diungkapkannya mampu berkomunikasi dengan manusia yang memungkinkan dia menangkap pesan yang dibawa karya seni itu. Sebuah karya seni yang baik biasanya mempunyai pesan yang ingin disampaikan kepada manusia yang bisa mempengaruhi sikap dan perilaku mereka. Itulah sebabnya maka seni memegang peranan penting dalam pendidikan moral dan budi pekerti suatu bangsa.
Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal. Sebaliknya, seni tetap bersifat individual dan personal dengan memusatkan perhatiannya pada “pengalaman hidup manusia perseorangan.” Pengalaman itu diungkapkan agar dapat dialami orang lain dengan jalan “menjiwai” pengalaman tersebut. Penjiwaan atas pengalaman orang lain itulah yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku kita seperti disimpulkan oleh Somerset Maugham bahwa manusia memuliakan dirinya justru lewat pengalaman (penderitaan) orang lain.
Pendidikan Budi Pekerti Menurut Konsep Islam
            Pandangan Martin Buber bahwa “manusia adalah makhluk Tuhan dan sekaligus mengandung kemungkinan baik dan jahat.” Hal ini sesuai dengan pandangan manusia sebagai makhluk Tuhan. Selanjutnya pendidikan menurut konsep Islam.
            Sesuai dengan pandangan Islam, manusia mempunyai nafsu-nafsu. Semua nafsu pada umumnya berkonsekuensi kepada kejahatan. Nafsu-nafsu itu antara lain:
1.      Nafsu ammarah, yakni dorongan batin untuk berbuat jahat, terutama marah.
2.      Nafsu lawwamah, yakni suka mencela.
3.      Nafsu musyawwilah, yakni dorongan batin untuk ngotot; pendapatnya saja yang benar.
4.      Nafsu muthmainnah, yakni dorongan batin untuk mengendalikan diri untuk mempertahankan diri dari segala kejahatan karena selalu ingat kepada Allah.
Ditinjau dari segi agama maka manusia itu membutuhkan pendidikan supaya yang berkembang nafsu muthmainnah atau yang berkembang hanya kemungkinan-kemungkinan yang baik.
Di samping itu, menurut agama Islam: pendidikanlah yang menentukan seseorang akan menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Dalam agama Islam juga dikemukakan bahwa “tiap anak dilahirkan dalam keadaan bersih, suci, orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (hadis riwayat Thabrani). Hadis ini hanya berlaku bagi sesuatu yang dipengaruhi oleh lingkungan (pendidikan), seperti agama, kepercayaan, nilai, sikap, dan pembentukan kebiasaan.
Lebih jauh lagi mengenai konsep Islam kepada pendidikan:
a  Mengingat dan Memuji Allah
            Setiap pekerjaan yang akan dilaksanakan maka dianjurkan selalu mengingat dan memuji Allah, yakni dengan membaca “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih-Penyayang.” Apabila telah selesai mengerjakan sesuatu maka dianjurkan memuji Allah, yakni dengan membaca “Segala puji bagi Allah, Tuhan yang mendidik semesta alam.”
            Ketika manusia baru saja dilahirkan ke dunia maka dibisikkanlah kalimat tauhid, yakni lapaz (lafal) azan ke telinga anak yang pria dan lapaz iqomah ke telinga yang wanita.
b  Orangtua mempunyai peran pertama dan utama dalam pendidikan anak
            Berikut contoh dari Al-Qur’an bagaimana Lukman memberi nasihat (mendidik anaknya), yakni yang tercantum dalam surat Lukman ayat ke-13 sampai dengan ayat ke-19.
Ayat 13:
Perhatikanlah ketika Lukman memberi nasihat kepada anaknya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah dengan yang lain. Sesungguhnya mempersekutukan itu (syirik itu) adalah aniaya yang besar.”
Ayat 14:
“Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dalam keadaan susah di atas kesusahan, dan menyusahkannya dalam jangka waktu dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan berterima kasihlah kepada ibu bapakmu . Kepada-Ku lah tempatmu kembali.”
Ayat 15:
“Jika kedua ibu bapakmu memaksa supaya kamu mempersekutukan Daku dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui (tidak ada pengetahuanmu, tentang itu), maka janganlah kamu ikut keduanya. Akan tetapi, di dunia bergaullah kamu dengan keduanya secara sopan dan baik, dan turutlah jalan-jalan orang yang tobat kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku lah tempat kembalimu, dan Aku akan berikan kepadamu hasil tentang apa saja yang telah kamu kerjakan.”
Ayat 16:
“Hai anakku, sesungguhnya jika ada amalanmu (baik atau buruk) seberat biji sawi yang tersembunyi di dalam batu di langit atau di bumi, niscaya dibalas Allah juga. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
Ayat 17:
“Hai anakku, kerjakanlah (dirikanlah) shalat, ajaklah orang berbuat baik dan laranglah berbuat yang mungkar, serta bersabarlah dalam menghadapi cobaan yang menimpamu. Sesungguhnya demikian itu termasuk hal yang dicita-citakan (termasuk urusan yang berat).”
Ayat 18:
“Janganlah kamu palingkan mukamu kepada manusia karena sombong, dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sangat gembira, karena sesungguhnya Allah tidak senang terhadap orang yang sombong dan sangat gembira (bermegah-megah).”
Ayat 19:
“Berjalanlah dengan wajar/sederhana dan berbicaralah dengan lembut (lunakkanlah suaramu), karena seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
           
            Jika diperhatikan uraian di atas tampaklah bahwa konsep pendidikan Islam merupakan konsep yang sempurna, yang mengatur kehidupan manusia agar mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.
            Pendidikan itu dimulai dari dalam kandungan dan dianjurkan selalu mengingat dan memuji Allah SWT. Ketika anak baru saja melihat dunia maka dibisikkanlah pula kalimat tauhid (meng-Esa-kan Allah) ke telinganya.
            Jika kita perhatikan, pendidikan yang diberikan Lukman kepada anaknya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Pendidikan akidah tauhid,
2.      Pendidikan berbakti kepada kedua orangtua,
3.      Pendidikan mengerjakan ibadah shalat; hal ini diperkuat lagi oleh surat Al-angkabut ayat 45: “Kerjakanlah shalat karena shalat itu dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar.”
4.      Pendidikan agar berakhlak mulia, yang meliputi:
a.       mengajak orang berbuat baik dan melarang berbuat mungkar;
b.      bersabarlah dalam menghadapi cobaan;
c.       melarang bersifat sombong dan bermegah-megah; dan
d.      sederhanakanlah dalam segala tingkah laku.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Dalam pengertian sehari-hari akhlak ditujukan kepada sifat-sifat yang baik dan terpuji. Sumber yang dapat dijadikan ukuran baik dan tidak baik itu adalah wahyu ilahi dan sabda Rasullulah.
Dalam agama Islam ruang lingkup akhlak dibagi menjdi lima kelompok; lima kelompok ini merupakan suatu keterpaduan. Lima kelompok akhlak tersebut adalah (1) akhlak kepada Allah, (2) akhlak kepada diri sendiri, (3) akhlak kepada keluarga, (4) akhlak kepada tetangga, dan (5) akhlak kepada makhluk lainnya.
Akhlak kepada Allah berarti bertaqwa, patuh dan mencintai-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, meniatkan segala amal perbuatan karena-Nya, mendambakan keridhoan-Nya, serta meng-Esa-kan-Nya. Yang dimaksud dengan meng-Esa-kan Allah adalah seseorang hendaknya janganlah mempunyai sembahan selain Allah. Yang dimaksud dengan senbahan selain Allah, misalnya jabatan, pangkat, uang, kekuasaan, wanita, dan sebagainya.
Akhlak kepada diri sendiri mengandung pengertian: menahan diri kepada sesuatu yang tidak baik dan tidak halal, berani mempertahankan kebenaran, rendah hati, optimis dan sabar (tidak suka mengeluh dan tidak mudah berputus asa dalam menghadapi segala cobaan yang datang menimpa), dan sebagainya.
Akhlak kepada keluarga berarti menciptakan dalam lingkungan keluarga rasa cinta mencintai, sayang-menyayangi, hormat menghormati, saling pengertian, dan sebagainya.
Akhlak kepada tetangga dan masyarakat mengandung pengertian: bersikap dan berbuat secara wajar (seperti pepatah Minang Kabau, lamak dek awak, katuju dek urang), menolong tanpa pamrih, terbuka, dapat dipercaya, dan sebagainya.
Akhlak kepada makhluk lainnya berarti memelihara keseimbangan lingkungan dan mencegah kerusakan di muka bumi. Menurut Al-Qur’an surat Al-Qoshosh ayat 77, yang artinya: “Hendaklah kamu cari pada apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kamu lupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
Bertolak dari kelima akhlak tersebut di atas bisa dikatakan bahwa pendidikan pada dasarnya proses memanusiakan kemanusiannya manusia, menghewankan kebinatangannya hewan, mengalamkan kealamannya alam, menuhankan ketuhanan-Nya Tuhan, dan memanusiakan kemanusian diri manusia sendiri.
Kalau pendidikan di Indonesia didasarkan pada konsep di atas insya Allah akan tercapai manusia Indonesia yang bertauhid, yang bertaqwa, dan yang berakhlak mulia serta tidak sekedar pintar dan terampil.



E  SIMPULAN
            Betapa sangat dipentingkan dalam tujuan pendidikan adalah seseorang yang tidak hanya terampil dan pintar, tetapi juga bersikap mulia sebagai hasil keseimbangan pengembangan antara ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
            Konsepsi pengajaran tradisional yang mementingkan perkembangan intelektual (kecerdasan kognitif) seharusnya berubah. Sudah saatnya kita meninggalkan proses pembelajaran yang menekankan hanya pada ranah kognitif. Praktek pembelajaran yang terlalu menekankan pada ranah kognitif dan psikomotorik dan hampir-hampir lupa pada ranah afektif seharusnya kita hindari.
            Sepanjang kita sebagai tenaga pendidik memiliki akses untuk mengembangkan ketiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik secara proporsional, kemudian kita mengesampingkan dua ranah yang lain dan lebih mementingkan ranah kognitif maka hal itu merupakan suatu keniscayaan belaka.
            Aspek etika dalam pendidikan belakangan ini kurang mendapatkan perhatian dari para pendidik. Kita cenderung mendidik anak kita menjadi cerdas tanpa mempersiapkan mereka dengan penuh tangung jawab agar kecerdasan itu dilengkapi dengan nilai-nilai moral yang luhur.
            Singkatnya, meskipun pendidikan telah memberikan pencerahan kepada kita, anak didik kita, juga berbagai prestasi baik tingkat nasional maupun tingkat internasional, pendidikan—menurut pendapat penulis—tidak serta merta membuat akhlak atau moral anak didik kita menjadi baik. Banyak ekses dari pendidikan yang terlalu mementingkan ranah kognitif dan mengesampingkan ranah afektif, misalnya, anak didik yang sudah tidak lagi hormat kepada kedua orang tua dan guru, banyaknya tawuran, kebiasaan menyontek, pecandu narkotika, seks bebas, gara-gara hal sepele anak membunuh orang tuanya, dan lain sebagainya. Misalnya, beberapa kasus pembunuhan yang terjadi di Jakarta, ujar Kasandra, dilakukan remaja berusia 15 tahun dan 16 tahun. “Yang lebih mengejutkan, baru-baru ini, pembunuhan dilakukan oleh seorang anak berusia 8 tahun. Ini sangat mengerikan sekaligus menyedihkan,” papar Kasandra. Kasus yang dimaksud adalah pembunuhan oleh seorang bocah berusia 8 tahun terhadap bocah 6 tahun di Bekasi pada April 2013.
            Penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa aspek emosional lebih penting daripada sekedar kecerdasan kognitif, masihkah kita lebih mengutamakan ranah kognitif dan mengesampingkan ranah afektif? Dulu kita meyakini bahwa IQ adalah penentu keberhasilan individu di sekolah, di pekerjaan, dan bahkan dalam kehidupan seseorang, semakin banyak bukti bahwa kecerdasan kognitif memang bukan segala-galanya.
            Konsepsi pendidikan mestinya jangan berat sebelah dalam peningkatan kemampuan pribadi maka untuk itu diperlukan inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan mengemban misi yang cenderung bergerak dari konsepsi pendidikan yang berat sebelah dalam peningkatan kemampuan pribadi di antara pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotorik), menuju pada konsepsi pendidikan yang mengembangkan pola dan isi yang lebih komprehensif dalam rangka pengembangan seluruh potensi manusia secara meyneluruh dan utuh. Artinya, pendidikan yang inovatif hendaknya dapat mengembangkan segenap potensi manusia tidak hanya aspek intelektual saja, tetapi mencakup seluruh aspek kepribadian secara bulat.
Kita rindu dengan sistem pendidikan masa-masa lalu yang di antaranya ada pendidikan budi pekerti yang sudah begitu terbukti menjadikan anak didik kita berbudi pekerti mulia, santun, dan berakhlak kharimah. Bagaimanapun, kita harus menyatukan langkah dan menyediakan waktu untuk memperjuangkan agar pendidikan budi pekerti dihidupkan kembali jika kita ingin generasi muda kita memiliki akhlak mulia dan budi pekerti yang terpuji. Kita harus mengembalikan arti dan tujuan hakiki dari pendidikan yang dalam bahasa Inggris diistilahkan “to educate” yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual.
                       
DAFTAR PUSTAKA


Darminah, et. al. 2008. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Bahasa
Inggris. Jakarta: Universitas Terbuka. Cet. 3

Echols dan Shadily. 2005. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Penerbit
            PT Gramedia Pustaka Utama

Harry K. Wong dan Rosemary T. Wong. 2009. The First Days of School.
            Harry K. Wong Publications, Inc.

Idris, Zahara dan Lisma Jamal. 1992. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Penerbit
PT Gramedia Widiasarana Indonesia
           
Johnson, Elaine B. 2010. Contextual Teaching and Learning: Menjadikan
 Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung:
Kaifa

Kadir, Abdul. 2012. Dasar-dasar Pendidikan. Jakarta: Penerbit   Kencana
Prenada Media Group
             
Kristianty, Theresia. 2008. Evaluasi Pembelajaran Bahasa Inggris. Jakarta:
            Universitas Terbuka

Pardede, Parlin dan Supeno. 2005. Mind Speaks To Mind. Jakarta: For Unindra
Use Only

Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar Harapan
           
…….., 2002. Macmillan English Dictionary for Advanced Learners of
American English. Oxford: Macmillan Publishers Limited

Harian Kompas, Sabtu, 22 Juni 2013
Harian Kompas, Rabu, 3 Juli 2013
www.esqbs.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...