A PENDAHULUAN
Sesuai
dengan apa yang dikemukakan oleh Bloom bahwa tujuan akhir dari proses belajar
dikelompokkan menjadi tiga sasaran, yaitu penguasaan pengetahuan dan teknologi
(kognitif), penguasaan sikap, nilai, dan moral (afektif), dan penguasaan
psikomotorik (keterampilan). Jika ketiga sasaran tersebut dicapai oleh peserta
didik, maka dia akan menjadi manusia yang utuh, seseorang yang tidak hanya
terampil dan pintar, tetapi juga bersikap mulia, berbudi luhur, dan bermoral.
Bila praktek pembelajaran terlalu menekankan pada ranah kognitif dan
psikomotorik dan hampir-hampir lupa pada ranah afektif maka peserta didik yang
dihasilkan akan menjadi manusia yang pandai dan terampil tetapi tidak bermoral
dan tidak berbudi pekerti.
Pendidikan
harus ditujukan kepada pengembangan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik
agar ranah-ranah itu dapat berkembang secara wajar dan seimbang. Pendidikan
seharusnya berusaha dan mengupayakan perkembangan secara menyeluruh dari ketiga
ranah tersebut secara seimbang. Pendidikan yang hanya mengarah pada
perkembangan satu ranah saja, tidak lain identik dengan pendidikan yang
bersifat parsial. Dengan demikian, bukan suatu ilusi bilamana hasil yang
mungkin dicapai paling tidak berupa keseimbangan pengembangan ketiga ranah
tersebut yang tidak semata didominasi oleh salah satu ranah, tetapi merupakan
sinergi dari ketiga ranah tersebut.
Pada
umumnya orang meyakini bahwa keberhasilan seseorang ditentukan oleh tingkat
intelektualitasnya. Semakin tinggi IQ seseorang dikatakan bahwa orang tersebut
akan mempunyai derajat kesuksesan yang lebih tinggi di pekerjaan, sekolah,
bahkan dalam hidupnya. Maka dari itu banyak lembaga pendidikan yang lebih
mementingkan pencapaian tingkat intelektualitas (ranah kognitif) peserta didiknya
daripada mementingkan ranah afektif (sikap, nilai, moral). Padahal studi
terakhir menunjukkan bahwa keberhasilan seseorang sebagian besar ditentukan
oleh karakternya dan sebagian kecil saja oleh intelektualitasnya.
Pendidikan
karakter, terutama yang menyangkut budi pekerti dan akhlak mulia bisa dilakukan
melalui karya seni atau yang sesuai dengan konsep Islam. Karya seni, terutama
yang berbentuk prosa, puisi, cerita yang dramatik, dapat digunakan sebagai
sarana untuk pendidikan moral atau budi pekerti. Pendidikan akhlak mulia bisa
juga dilakukan yang sesuai dengan konsep Islam. Dalam Islam akhlak
dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu akhlak kepada Allah, akhlak kepada
diri sendiri, akhlak kepada keluarga, akhlak kepada tetangga, dan akhlak kepada
makhluk lainnya. Begitu lengkapnya akhlak dalam Islam sehingga semuanya
tergantung pada kita bagaimana mengajarkannya kepada anak didik kita.
B
PERMASALAHAN
“Intellectuality is not enough. Eighty-five
percent (85%) of your success will come from your character, only 15% will come
from your intellectuality (IQ).”
-ESQ
Business School
Terjemahan bebasnya:
“Intelektualitas
tidak cukup. Delapan puluh lima persen (85%) keberhasilan seseorang berasal
dari karakternya, dan hanya 15% berasal dari intelektualitasnya (IQ),” demikian
yang penulis kutip dari ESQ Business School.
Hal
ini berlawanan dengan pengetahuan umum bahwa semakin tinggi IQ seseorang akan
semakin pandai dan berhasil seseorang tersebut. Akhirnya,
kepandaianlah—kemampuan akademik—yang dikejar, dipuja-puja, dan bahkan
dijadikan tolok ukur keberhasilan seseorang yang boleh dikatakan keberhasilan
yang semu. Maka dapat dimengerti jikalau banyak lembaga pendidikan yang lebih
menitik-beratkan pada ranah kognitif dan mengesampingkan dua ranah lainnya.
Aspek
etika dalam pendidikan belakangan ini kurang mendapatkan perhatian dari para
pendidik. Kita cenderung mendidik anak kita menjadi cerdas tanpa mempersiapkan
mereka dengan seksama agar kecerdasan itu dilengkapi dengan nilai-nilai moral
yang luhur. Para pendidik bukan saja lupa memasukkan hal tersebut dalam materi
kurikulumnya namun juga gagal memberikan teladan dalam proses belajar mengajar.
Dan
selanjutnya, apa yang terjadi dengan keluaran dari lembaga pendidikan. Tak lain
adalah tamatan yang miskin budi pekerti, kelulusan yang miskin hati nurani.
Dulu
kita meyakini bahwa IQ adalah penentu keberhasilan individu di pekerjaan, di
sekolah dan bahkan dalam kehidupannya, semakin banyak bukti bahwa IQ memang
bukan segala-galanya. Keld Jensen, dalam artikelnya, “Intelligence is
Overrated: What You Really Need to Succeed,” mepaparkan betapa John F. Kennedy
yang telah begitu terbukti suksesnya, hanya memiliki IQ 119. Penelitian terbaru
mengatakan bahwa 85 persen kesuksesan individu ditentukan oleh faktor-faktor human engineering atau karakter
seseorang, sementara sisanya, yaitu sebesar 15 persen berasal dari keterampilan
teknis, dan bukan semata kecerdasan umum.
Tidak
terbantahkan lagi, sumber kekayaan manusia, sebagai makhluk tertinggi, selain
pada akal budinya, juga pada emosinya. Tidak salah bila Daniel Goleman membuat
heboh dunia dengan bukunya Emotional
Intelligence: the ability to identify, assess, and control the emotions of
oneself, of others, and of groups. Kita jelas tidak bisa lagi mengelak dari
kenyataan bahwa human capital
didominasi faktor kepribadian, yang tidak terlalu bergantung pada kecerdasan,
tetapi lebih pada sistem emosional yang beroperasi di dalam kepribadian
manusia. Dengan pemahaman bahwa aspek emosional lebih penting daripada sekedar
kecerdasan kognitif, masihkah kita membiarkan diri kita tidak menelaah perasaan
orang lain saat berhubungan dengan kita? Tidakkah kita perlu menunjukkan urgensi
untuk memanfaatkan emosi ketika membangun hubungan sehingga tercipta chemistry yang lebih nyaman? Bukankah
semua orang sekarang meyakini bahwa social
capital lebih mempan daripada financial
capital?
C
PEMBAHASAN
Dalam bahasa Inggris pendidikan
diistilahkan ‘to educate’ yang
berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual (Muhajir, 2000:20). Banyak
pendapat yang berlainan tentang pendidikan. Walaupun demikian, pendidikan
berjalan terus tanpa menunggu keseragaman arti.
Dasar hakiki diperlukannya
pendidikan bagi peserta didik adalah karena manusia adalah makhluk susila yang
dapat dibina dan diarahkan untuk mencapai derajat kesusilaan.
Fungsi utama pendidikan adalah
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak, kepribadian serta peradaban yang
bermartabat dalam hidup dan kehidupan atau dengan kata lain pendidikan
berfungsi memuliakan manusia agar menjadi manusia yang benar sesuai dengan
norma yang dijadikan landasannya.
Sebelum
melangkah lebih jauh marilah kita simak tentang definisi belajar dan
pembelajaran yang dikemukakan oleh para ahli. Di antaranya adalah yang
dikemukakan oleh A. Chaedar Alwasilah dan para ahli psikologi.
Dari sekian banyak definisi
pembelajaran atau learning, penulis
juga sependapat dengan apa yang dipilih oleh A. Chaedar Alwasilah (dalam
Johnson, 2010:18). Dia memilih dua definisi berikut ini: (1) “A relatively permanent change in response
potentiality which occurs as a result of reinforced practice” dan (2) “a change in human disposition or capability,
which can be retained, and which is not simply ascribable to the process of
growth.” Dari dua definisi ini ada tiga prinsip yang layak diperhatikan, A.
Chaedar Alwasilah menambahkan. Pertama,
belajar menghasilkan perubahan perilaku anak didik yang relatif permanen.
Artinya, peran penggiat pendidikan—khususnya guru dan dosen—adalah sebagai
pelaku perubahan (agent of change). Kedua, anak didik memiliki potensi dan
kemampuan atau kompetensi yang merupakan benih kodrati untuk ditumbuhkembangkan
secara terus-menerus. Maknanya, pendidikan seyogianya menyirami benih kodrati
ini hingga tumbuh subur dan berbuah. Proses belajar- mengajar, dengan demikian,
adalah optimalisasi potensi diri sehingga dicapailah kualitas yang ideal,
apabila tidak dikatakan sempurna, dan relatif permanen. Ketiga, perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh
alami linear sejalan dengan proses kehidupan. Artinya, proses belajar-mengajar
memang merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri, tetapi ia dirancang secara
khusus, dan diniati demi tercapainya kondisi atau kualitas ideal seperti
disebut di atas. Ketiga prinsip di atas menegaskan definisi belajar. Definisi
ini secara teoretis hampir diterima semua pihak bahwa begitulah sejatinya
belajar dalam proses pendidikan.
Idealnya,
siswa pergi ke sekolah mestinya untuk menimba pengetahuan, belajar
keterampilan, dan mengembangkan nilai-nilai. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Harry dan Rosemary (2009:7): “School
is where people go to acquire knowledge (cognitive domain), learn skills
(psichomotoric domain), and develop values (affective domain) that will make
them productive citizens and help them grow to their fullest potential as human
beings.”
Para
ahli psikologi sering kali mendefinisikan bahwa belajar adalah perubahan
perilaku sebagai akibat dari pengalaman. Belajar yang didefinisikan sebagai
perubahan perilaku, mencakup pertumbuhan-pertumbuhan afektif, psikomotorik, dan
kognitif yang tidak dihasilkan oleh sebab-sebab lain. Misalnya, perilaku yang
berubah karena kelelahan, obat-obatan atau kematangan, tidak dianggap sebagai
belajar.
Bloom
(Woolfolk dan Nicolich, 1984:390 dalam Sunarto, 2008:29) mengemukakan bahwa
tujuan akhir dari proses belajar dikelompokkan menjadi tiga sasaran, yaitu
penguasaan pengetahuan dan teknologi (kognitif), penguasaan sikap, nilai, dan
moral (afektif), dan penguasaan psikomotorik (keterampilan). Kecakapan motorik
(psikomotorik) merupakan kemampuan untuk melakukan koordinasi kerja saraf
motorik yang dilakukan oleh saraf pusat untuk melakukan kegiatan.
Perlu
kita ketahui bahwa tujuan pendidikan sesuai dengan taksonomi Bloom dibedakan
menjadi tiga ranah sesuai dengan cara belajar siswa, yaitu:
Ranah Psikomotorik. Ranah
psikomotorik menekankan pada kemampuan gerak fisik atau keterampilan.
Ranah Afektif.
Ranah afektif menekankan pada penguasaan sikap, nilai, moral, perasaan, emosi.
Ranah Kognitif.
Ranah kognitif menekankan pada kemampuan penguasaan pengetahuan dan teknologi.
Ranah
kognitif dikelompokkan menjadi 6 subkategori yang tersusun secara hierarki yang
diawali dari tingkat berpikir yang terendah (knowledge atau pengetahuan)
dan disusul tingkat berpikir berikutnya, pengertian
(comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation).
Keenam kemampuan tersebut bersifat hierarki, artinya untuk mencapai tingkatan
paling tinggi siswa harus sudah memiliki kemampuan sebelumnya. Urutan nomor
satu menunjukkan tingkatan berpikir yang paling rendah (C1), yaitu mengingat
materi. Sedangkan urutan keenam menunjukkan tingkat berpikir yang paling tinggi
(C6). Dalam kategori ini siswa sudah mampu memberikan evaluasi terhadap suatu
obyek, permasalahan, atau opini.
Konsepsi pengajaran tradisional yang
mementingkan perkembangan intelektual seharusnya berubah. Sudah saatnya kita
meninggalkan proses pembelajaran yang menekankan pada ranah kognitif rendah
khususnya pembelajaran yang diarahkan kepada ingatan (C1) untuk menuju ke
tangga taksonomi-Bloom tingkat tinggi. Praktek pembelajaran yang terlalu
menekankan pada ranah kognitif dan psikomotorik hampir-hampir lupa pada ranah
afektif. Hasil tes inteligensi yang selama ini dilaksanakan belum terkait
dengan beberapa bidang belajar seperti keterampilan motorik, musik, seni, dan
olah raga. Hasil tes inteligensi lebih banyak berhubungan dengan keberhasilan
atau kemampuan bidang akademik. Sebagai implikasinya perencanaan pendidikan
lebih memperhatikan kemampuan atau bakat akademik daripada kemampuan-kemampuan
yang lain untuk dijadikan dasar pertimbangan. Sekolah seharusnya lebih
memperhatikan seluruh pribadi peserta didik, baik mengenai segi emosi, sosial,
jasmani maupun segi intelektualnya.
Dengan langkah, sekolah berusaha dengan sengaja mengembangkan semua
aspek pribadi anak dengan memberikan bahan pelajaran yang sesuai dan dengan
cara penyampaian yang bervariasi. Atau yang lebih dikenal dengan mengajar
dengan menerapkan multi metode dan menggunakan alat bantu mengajar (teaching aids).
Sebagai
individu sebenarnya pribadi anak itu tidak dapat dipecah-pecah menjadi beberapa
bagian yang terpisah-pisah. Dalam segala tindakannya manusia itu bersikap
sebagai suatu keseluruhan yang utuh.
Untuk
mengetahui kemajuan proses berpikir peserta didik setelah mengikuti proses
pembelajaran digunakanlah tes. Hasil tes inteligensi yang selama ini
dilaksanakan belum terkait dengan ranah afektif dan ranah psikomotorik. Hasil
tes inteligensi lebih banyak berhubungan dengan keberhasilan atau kemampuan
bidang akademik. Lalu apa dan bagaimana mengukur perkembangan keterampilan
manual, serta perkembangan nurani peserta didik, yang oleh Bloom dikelompokkan
pada ranah psikomotorik dan ranah afektif. Selama ini, kedua ranah ini kurang
mendapat penekanan dalam proses pembinaan dan pengembangan di sekolah. Upaya ke
arah pembinaan dan pengembangan ranah kedua dan ketiga ini sebenarnya secara
bertahap sudah dilakukan antara lain dengan pengadaan fasilitas laboratorium
IPA, peralatan olah raga, dan pelaksanaan penataran guru mata pelajaran dan
sebagainya. Namun dampak upaya ini di sekolah kurang tampak, malah banyak
peralatan dan bahan kimia yang rusak atau ditelantarkan.
Marilah
kita bertekad untuk menekuni alat ukur non-tes sebagaimana kita menekuni alat
ukur tes. Di samping itu, kita berharap agar supaya pemerintah, dalam hal ini
Pusat Pengujian, Balitbang, Kementerian Pendidikan Nasional, memberikan upaya
yang sama, baik pada pengembangan tes maupun pengembanagn non-tes.
Sekiranya
dua pertanyaan berikut ini kita sampaikan kepada peserta didik, bagaimanakah
pola jawaban mereka?
1. Siapakah
presiden keempat Republik Indonesia?
2. Apakah
kalian menyenangi pelajaran bahasa Inggris?
Kita
setuju bahwa pola jawaban untuk masing-masing pertanyaan adalah:
Hampir
semua peserta didik memberikan jawaban yang sama, yaitu:
Presiden
R.I. keempat adalah K.H. Abdurahman Wahid.
Sedangkan
pertanyaan kedua jawabannya bervariasi ada yang sangat senang, ada yang senang,
ada yang biasa saja, ada yang tidak senang, dan ada yang sangat tidak senang atau
benci.
Perbedaan
pola jawaban ini terjadi karena materi pertanyaan pertama mengenai materi yang
dipelajari di sekolah, yaitu bahan yang harus diingat jadi berkaitan dengan
ranah kognitif (proses berpikir C1). Sedangkan pertanyaan kedua mengenai minat,
termasuk pada ranah afektif. Masing-masing memiliki minat tertentu yang belum
tentu sama dengan siswa lain. Dengan kata lain, untuk mengetahui nurani
seseorang, kurang tepat atau tidak pada tempatnya kalau pertanyaan disampaikan
secara langsung.
Bagaimana
pendapat kita kalau pertanyaan kedua di atas disampaikan oleh guru bahasa
Inggris kepada anak didiknya langsung? Setujukah kita bahwa pola jawabannya
akan berbeda, yaitu hampir tidak ada yang tidak suka dan yang sangat tidak
suka. Mengapa terjadi pergeseran bukankah pertanyaannya sama, yang menjawab
orangnya juga sama.
Kepada
kelompok anak didik yang sama kita sampaikan pertanyaan berikut: Anak-anak! Ini
sepotong papan (sambil ditunjukkan) lebar 30 cm, tebal 1,5 cm, dan panjang 2 m,
berapa lama waktu yang kalian perlukan untuk memotong papan ini sehingga
masing-masing panjangnya menjadi 1 meter? Jawaban yang diterima akan
berbeda-beda, dan kalau mereka mencoba memotongnya akan diperoleh angka
pelaksanaan yang berbeda dengan angka yang mereka perkirakan.
Dari
tiga pertanyaan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengukur ranah afektif
dan ranah psikomotorik tidak sama dengan ranah kognitif. Tes merupakan alat
ukur yang tepat untuk digunakan mengukur hasil belajar yang berhubungan dengan
ranah kognitif. Mengukur ranah afektif dan ranah psikomotorik lebih sukar
pelaksanaannya. Pakar pendidikan sepakat bahwa untuk mengukur ranah tersebut
sebaiknya dilakukan dengan pengamatan (observasi) dengan mempertimbangkan semua
kebaikannya dan keterbatasannya.
Untuk mencapai sasaran penguasaan
sikap, nilai, dan moral pencapaiannya dapat melalui penyajian karya seni dan
yang sesuai dengan konsep Islam.
Pendidikan Budi Pekerti Melalui
Karya Seni
Pendidikan
budi pekerti melalui karya seni. Why not?
Literatur
mempunyai banyak fungsi dan penggunaan. Belakangan, literatur memiliki tujuan
terapi. Anak-anak dan narapidana yang terganggu jiwanya telah terbantu oleh
keterlibatan dramatik mereka dalam prosa, puisi, dan cerita atau adegan yang dramatik.
Semua
fungsi literatur yang telah disebutkan memiliki satu elemen yang umum. Dalam setiap
kasus, pembaca literatur terlibat atau hanyut dalam berbagai tipe pengalaman karena
setiap penggal literatur mengungkapkan sebuah tipe pengalaman tertentu, yang
sang penulis ingin bagi dengan yang lainnya. Melalui Oedipus, Sophocles menginginkan kita untuk melihat perjuangan yang
lebih dalam dari seorang lelaki yang sombong dan perkasa yang dengan
pelan-pelan dipaksa untuk mengakui dan mencapai kata sepakat mengenai kebenaran
yang sama sekali tidak menyenangkan bahwa dia secara tidak disengaja telah
dinyatakan bersalah membunuh ibunya. Shakespeare menghendaki kita untuk
memahami melalui Julius Caesar bahwa
ambisi dan kelemahan manusia cenderung mengarah ke bencana alam. Setiap penulis
menghendaki kita untuk terlibat dalam pengalamannya melalui literatur.
Welleck
dan Warren (1956:150) mendefinisikan literatur sebagai “suatu penyebab
pengalaman yang potensial.” Definisi ini menyiratkan bahwa literatur adalah
“sesuatu yang hidup”—suatu organisem yang hidup dengan kekuatannya untuk
mempengaruhi makhluk yang lain. Literatur, tentu saja, tidak dapat mempengaruhi
orang lain tanpa dibacanya, didengarnya, dan dibaginya. Pembaca diharuskan
membawa pengalaman yang potensial yang ada pada literatur ke dalam pengungkapan
(ekspresi) yang aktif. Dengan membaca literatur secara afektif, kita mengaktifkan
pengalaman yang potensial dalam literatur. Coba kita perhatikan contoh cerita
singkat berikut ini.
The
Lion and the Mouse
Once when a lion was asleep a little mouse began
running up and down upon him. This soon weakened the lion who placed his huge paw
upon him and opened his big jaw to swallow him. “Pardon, O King,” cried the
little mouse. “Forgive me this time, I shall never forget it. Who knows that I
may be able to do you a turn some of these days?” The lion was so tickled at
the idea of the mouse being able to help him that he lifted up his paw and let
him go.
Some time after the lion was caught in a trap, and
the hunters, who desired to carry him alive to the king, tied him to a tree
while they went in a search of a wagon to carry him on. Just then the little
mouse happened to pass by, and seeing the sad situation in which the lion was,
went up to him and gnawed away the ropes that bound the king of the beasts.
“Was I not right?”, said the little mouse.
Terjemahan
bebasnya:
Sang Macan dan Si Tikus
Suatu waktu
ketika seekor macan sedang tidur seekor tikus kecil mulai berlarian naik dan
turun di atas seekor macan tersebut. Ini tentu saja segera membangunkan macan
tersebut yang telah menempatkan cakar besarnya di atas dan membuka rahang
besarnya untuk menelannya. “Maaf, O Raja,” teriak tikus kecil itu. “Maafkan
saya kali ini, saya tidak akan melupakannya. Siapa tahu bahwa saya mungkin
dapat berbuat untuk kamu giliran beberapa hari ini? Sang macan begitu
tergelitik pada gagasan si tikus yang dapat membantu dia, hingga sang macan
mengangkat cakarnya dari cengkraman dan membiarkan si tikus pergi.
Beberapa waktu setelah si macan
tersangkut dalam perangkap, dan para pemburu, yang ingin sekali membawanya
hidup-hidup ke raja, mengikat dia ke sebuah pohon selagi mereka (pemburu) pergi
mencari sebuah kendaraan untuk membawanya di atas kendaraan tersebut. Justru
kemudian si tikus kecil entah mengapa pas lewat, dan melihat situasi gawat di
situ sang macan berada, menghampirinya dan menggerogoti tali yang mengikat raja
binatang buas itu. “Apakah saya tidak benar?”, kata si tikus kecil itu.
Sebuah cerita yang sederhana dan
menarik, bukan? Meskipun tokoh-tokohnya hanya binatang, dan tempat kejadiannya
tidak rumit, kita belajar pelajaran moral yang baik, atau tema, dari perilaku
mereka, misalnya ‘Little friends may
prove great friends.” (Teman yang sepele, yang tak berarti mungkin terbukti
sebagai teman yang hebat, yang dapat menolong dalam kesulitan.) Pelajaran moral
yang dapat diambil adalah kita sebagai makhluk sosial seharusnya saling tolong
menolong dan jangan saling membinasakan.
Jadi
dengan demikian karya seni—terutama prosa, puisi, dan cerita dramatik—ditujukan
untuk manusia dengan harapan bahwa penciptanya dan obyek yang diungkapkannya
mampu berkomunikasi dengan manusia yang memungkinkan dia menangkap pesan yang
dibawa karya seni itu. Sebuah karya seni yang baik biasanya mempunyai pesan
yang ingin disampaikan kepada manusia yang bisa mempengaruhi sikap dan perilaku
mereka. Itulah sebabnya maka seni memegang peranan penting dalam pendidikan
moral dan budi pekerti suatu bangsa.
Ilmu
mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang bersifat
umum dan impersonal. Sebaliknya, seni tetap bersifat individual dan personal
dengan memusatkan perhatiannya pada “pengalaman hidup manusia perseorangan.”
Pengalaman itu diungkapkan agar dapat dialami orang lain dengan jalan
“menjiwai” pengalaman tersebut. Penjiwaan atas pengalaman orang lain itulah
yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku kita seperti disimpulkan oleh
Somerset Maugham bahwa manusia memuliakan dirinya justru lewat pengalaman
(penderitaan) orang lain.
Pendidikan Budi Pekerti Menurut
Konsep Islam
Pandangan Martin Buber bahwa
“manusia adalah makhluk Tuhan dan sekaligus mengandung kemungkinan baik dan
jahat.” Hal ini sesuai dengan pandangan manusia sebagai makhluk Tuhan.
Selanjutnya pendidikan menurut konsep Islam.
Sesuai dengan pandangan Islam,
manusia mempunyai nafsu-nafsu. Semua nafsu pada umumnya berkonsekuensi kepada
kejahatan. Nafsu-nafsu itu antara lain:
1. Nafsu
ammarah, yakni dorongan batin untuk
berbuat jahat, terutama marah.
2. Nafsu
lawwamah, yakni suka mencela.
3. Nafsu
musyawwilah, yakni dorongan batin
untuk ngotot; pendapatnya saja yang benar.
4. Nafsu
muthmainnah, yakni dorongan batin
untuk mengendalikan diri untuk mempertahankan diri dari segala kejahatan karena
selalu ingat kepada Allah.
Ditinjau
dari segi agama maka manusia itu membutuhkan pendidikan supaya yang berkembang
nafsu muthmainnah atau yang berkembang hanya kemungkinan-kemungkinan yang baik.
Di
samping itu, menurut agama Islam: pendidikanlah yang menentukan seseorang akan
menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Dalam agama Islam juga dikemukakan bahwa
“tiap anak dilahirkan dalam keadaan bersih, suci, orang tuanyalah yang akan
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (hadis riwayat Thabrani). Hadis ini
hanya berlaku bagi sesuatu yang dipengaruhi oleh lingkungan (pendidikan),
seperti agama, kepercayaan, nilai, sikap, dan pembentukan kebiasaan.
Lebih
jauh lagi mengenai konsep Islam kepada pendidikan:
a
Mengingat dan Memuji Allah
Setiap pekerjaan yang akan
dilaksanakan maka dianjurkan selalu mengingat dan memuji Allah, yakni dengan
membaca “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih-Penyayang.” Apabila telah selesai
mengerjakan sesuatu maka dianjurkan memuji Allah, yakni dengan membaca “Segala
puji bagi Allah, Tuhan yang mendidik semesta alam.”
Ketika manusia baru saja dilahirkan
ke dunia maka dibisikkanlah kalimat tauhid, yakni lapaz (lafal) azan ke telinga anak yang pria dan lapaz
iqomah ke telinga yang wanita.
b
Orangtua mempunyai peran pertama dan utama dalam pendidikan anak
Berikut contoh dari Al-Qur’an
bagaimana Lukman memberi nasihat (mendidik anaknya), yakni yang tercantum dalam
surat Lukman ayat ke-13 sampai dengan ayat ke-19.
Ayat
13:
Perhatikanlah
ketika Lukman memberi nasihat kepada anaknya, “Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah dengan yang lain. Sesungguhnya mempersekutukan itu
(syirik itu) adalah aniaya yang besar.”
Ayat 14:
“Kami perintahkan
kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua ibu bapaknya, ibunya
mengandungnya dalam keadaan susah di atas kesusahan, dan menyusahkannya dalam
jangka waktu dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan berterima kasihlah kepada
ibu bapakmu . Kepada-Ku lah tempatmu kembali.”
Ayat 15:
“Jika kedua ibu
bapakmu memaksa supaya kamu mempersekutukan Daku dengan sesuatu yang tidak kamu
ketahui (tidak ada pengetahuanmu, tentang itu), maka janganlah kamu ikut
keduanya. Akan tetapi, di dunia bergaullah kamu dengan keduanya secara sopan
dan baik, dan turutlah jalan-jalan orang yang tobat kepada-Ku. Kemudian
kepada-Ku lah tempat kembalimu, dan Aku akan berikan kepadamu hasil tentang apa
saja yang telah kamu kerjakan.”
Ayat 16:
“Hai anakku,
sesungguhnya jika ada amalanmu (baik atau buruk) seberat biji sawi yang
tersembunyi di dalam batu di langit atau di bumi, niscaya dibalas Allah juga.
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
Ayat 17:
“Hai anakku,
kerjakanlah (dirikanlah) shalat, ajaklah orang berbuat baik dan laranglah
berbuat yang mungkar, serta bersabarlah dalam menghadapi cobaan yang menimpamu.
Sesungguhnya demikian itu termasuk hal yang dicita-citakan (termasuk urusan
yang berat).”
Ayat 18:
“Janganlah kamu
palingkan mukamu kepada manusia karena sombong, dan janganlah berjalan di muka
bumi dengan sangat gembira, karena sesungguhnya Allah tidak senang terhadap
orang yang sombong dan sangat gembira (bermegah-megah).”
Ayat 19:
“Berjalanlah
dengan wajar/sederhana dan berbicaralah dengan lembut (lunakkanlah suaramu),
karena seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
Jika diperhatikan uraian di atas
tampaklah bahwa konsep pendidikan Islam merupakan konsep yang sempurna, yang
mengatur kehidupan manusia agar mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.
Pendidikan itu dimulai dari dalam
kandungan dan dianjurkan selalu mengingat dan memuji Allah SWT. Ketika anak
baru saja melihat dunia maka dibisikkanlah pula kalimat tauhid (meng-Esa-kan
Allah) ke telinganya.
Jika kita perhatikan, pendidikan
yang diberikan Lukman kepada anaknya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pendidikan
akidah tauhid,
2. Pendidikan
berbakti kepada kedua orangtua,
3. Pendidikan
mengerjakan ibadah shalat; hal ini diperkuat lagi oleh surat Al-angkabut ayat
45: “Kerjakanlah shalat karena shalat itu dapat mencegah seseorang dari
perbuatan keji dan mungkar.”
4. Pendidikan
agar berakhlak mulia, yang meliputi:
a. mengajak
orang berbuat baik dan melarang berbuat mungkar;
b. bersabarlah
dalam menghadapi cobaan;
c. melarang
bersifat sombong dan bermegah-megah; dan
d. sederhanakanlah
dalam segala tingkah laku.
Nabi
Muhammad SAW pernah bersabda: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia.” Dalam pengertian sehari-hari akhlak ditujukan kepada sifat-sifat yang
baik dan terpuji. Sumber yang dapat dijadikan ukuran baik dan tidak baik itu
adalah wahyu ilahi dan sabda Rasullulah.
Dalam
agama Islam ruang lingkup akhlak dibagi menjdi lima kelompok; lima kelompok ini
merupakan suatu keterpaduan. Lima kelompok akhlak tersebut adalah (1) akhlak
kepada Allah, (2) akhlak kepada diri sendiri, (3) akhlak kepada keluarga, (4)
akhlak kepada tetangga, dan (5) akhlak kepada makhluk lainnya.
Akhlak
kepada Allah berarti bertaqwa, patuh dan mencintai-Nya, mensyukuri nikmat-Nya,
meniatkan segala amal perbuatan karena-Nya, mendambakan keridhoan-Nya, serta
meng-Esa-kan-Nya. Yang dimaksud dengan meng-Esa-kan Allah adalah seseorang
hendaknya janganlah mempunyai sembahan selain Allah. Yang dimaksud dengan
senbahan selain Allah, misalnya jabatan, pangkat, uang, kekuasaan, wanita, dan
sebagainya.
Akhlak
kepada diri sendiri mengandung pengertian: menahan diri kepada sesuatu yang
tidak baik dan tidak halal, berani mempertahankan kebenaran, rendah hati,
optimis dan sabar (tidak suka mengeluh dan tidak mudah berputus asa dalam menghadapi
segala cobaan yang datang menimpa), dan sebagainya.
Akhlak
kepada keluarga berarti menciptakan dalam lingkungan keluarga rasa cinta
mencintai, sayang-menyayangi, hormat menghormati, saling pengertian, dan
sebagainya.
Akhlak
kepada tetangga dan masyarakat mengandung pengertian: bersikap dan berbuat
secara wajar (seperti pepatah Minang Kabau, lamak
dek awak, katuju dek urang), menolong tanpa pamrih, terbuka, dapat
dipercaya, dan sebagainya.
Akhlak
kepada makhluk lainnya berarti memelihara keseimbangan lingkungan dan mencegah
kerusakan di muka bumi. Menurut Al-Qur’an surat Al-Qoshosh ayat 77, yang
artinya: “Hendaklah kamu cari pada apa-apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kamu lupakan
kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat
kerusakan.”
Bertolak
dari kelima akhlak tersebut di atas bisa dikatakan bahwa pendidikan pada
dasarnya proses memanusiakan kemanusiannya manusia, menghewankan
kebinatangannya hewan, mengalamkan kealamannya alam, menuhankan ketuhanan-Nya
Tuhan, dan memanusiakan kemanusian diri manusia sendiri.
Kalau
pendidikan di Indonesia didasarkan pada konsep di atas insya Allah akan
tercapai manusia Indonesia yang bertauhid, yang bertaqwa, dan yang berakhlak
mulia serta tidak sekedar pintar dan terampil.
E
SIMPULAN
Betapa sangat dipentingkan dalam
tujuan pendidikan adalah seseorang yang tidak hanya terampil dan pintar, tetapi
juga bersikap mulia sebagai hasil keseimbangan pengembangan antara ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Konsepsi pengajaran tradisional yang
mementingkan perkembangan intelektual (kecerdasan kognitif) seharusnya berubah.
Sudah saatnya kita meninggalkan proses pembelajaran yang menekankan hanya pada
ranah kognitif. Praktek pembelajaran yang terlalu menekankan pada ranah
kognitif dan psikomotorik dan hampir-hampir lupa pada ranah afektif seharusnya
kita hindari.
Sepanjang kita sebagai tenaga
pendidik memiliki akses untuk mengembangkan ketiga ranah, yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotorik secara proporsional, kemudian kita mengesampingkan dua
ranah yang lain dan lebih mementingkan ranah kognitif maka hal itu merupakan
suatu keniscayaan belaka.
Aspek etika dalam pendidikan
belakangan ini kurang mendapatkan perhatian dari para pendidik. Kita cenderung
mendidik anak kita menjadi cerdas tanpa mempersiapkan mereka dengan penuh
tangung jawab agar kecerdasan itu dilengkapi dengan nilai-nilai moral yang
luhur.
Singkatnya, meskipun pendidikan
telah memberikan pencerahan kepada kita, anak didik kita, juga berbagai
prestasi baik tingkat nasional maupun tingkat internasional, pendidikan—menurut
pendapat penulis—tidak serta merta membuat akhlak atau moral anak didik kita
menjadi baik. Banyak ekses dari pendidikan yang terlalu mementingkan ranah
kognitif dan mengesampingkan ranah afektif, misalnya, anak didik yang sudah
tidak lagi hormat kepada kedua orang tua dan guru, banyaknya tawuran, kebiasaan
menyontek, pecandu narkotika, seks bebas, gara-gara hal sepele anak membunuh
orang tuanya, dan lain sebagainya. Misalnya, beberapa kasus pembunuhan yang
terjadi di Jakarta, ujar Kasandra, dilakukan remaja berusia 15 tahun dan 16
tahun. “Yang lebih mengejutkan, baru-baru ini, pembunuhan dilakukan oleh
seorang anak berusia 8 tahun. Ini sangat mengerikan sekaligus menyedihkan,”
papar Kasandra. Kasus yang dimaksud adalah pembunuhan oleh seorang bocah
berusia 8 tahun terhadap bocah 6 tahun di Bekasi pada April 2013.
Penelitian belakangan ini
menunjukkan bahwa aspek emosional lebih penting daripada sekedar kecerdasan
kognitif, masihkah kita lebih mengutamakan ranah kognitif dan mengesampingkan
ranah afektif? Dulu kita meyakini bahwa IQ adalah penentu keberhasilan individu
di sekolah, di pekerjaan, dan bahkan dalam kehidupan seseorang, semakin banyak
bukti bahwa kecerdasan kognitif memang bukan segala-galanya.
Konsepsi pendidikan mestinya jangan
berat sebelah dalam peningkatan kemampuan pribadi maka untuk itu diperlukan
inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan mengemban misi yang cenderung bergerak
dari konsepsi pendidikan yang berat sebelah dalam peningkatan kemampuan pribadi
di antara pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan
(psikomotorik), menuju pada konsepsi pendidikan yang mengembangkan pola dan isi
yang lebih komprehensif dalam rangka pengembangan seluruh potensi manusia
secara meyneluruh dan utuh. Artinya, pendidikan yang inovatif hendaknya dapat
mengembangkan segenap potensi manusia tidak hanya aspek intelektual saja,
tetapi mencakup seluruh aspek kepribadian secara bulat.
Kita
rindu dengan sistem pendidikan masa-masa lalu yang di antaranya ada pendidikan
budi pekerti yang sudah begitu terbukti menjadikan anak didik kita berbudi
pekerti mulia, santun, dan berakhlak kharimah. Bagaimanapun, kita harus
menyatukan langkah dan menyediakan waktu untuk memperjuangkan agar pendidikan
budi pekerti dihidupkan kembali jika kita ingin generasi muda kita memiliki
akhlak mulia dan budi pekerti yang terpuji. Kita harus mengembalikan arti dan
tujuan hakiki dari pendidikan yang dalam bahasa Inggris diistilahkan “to educate” yang berarti memperbaiki
moral dan melatih intelektual.
DAFTAR PUSTAKA
Darminah, et. al. 2008.
Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran
Bahasa
Inggris. Jakarta:
Universitas Terbuka. Cet. 3
Echols
dan Shadily. 2005. Kamus
Inggris-Indonesia. Jakarta: Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Harry
K. Wong dan Rosemary T. Wong. 2009. The
First Days of School.
Harry K. Wong Publications, Inc.
Idris,
Zahara dan Lisma Jamal. 1992. Pengantar
Pendidikan. Jakarta: Penerbit
PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Johnson,
Elaine B. 2010. Contextual Teaching and
Learning: Menjadikan
Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan
Bermakna. Bandung:
Kaifa
Kadir,
Abdul. 2012. Dasar-dasar Pendidikan.
Jakarta: Penerbit Kencana
Prenada Media Group
Kristianty,
Theresia. 2008. Evaluasi Pembelajaran
Bahasa Inggris. Jakarta:
Universitas Terbuka
Pardede,
Parlin dan Supeno. 2005. Mind Speaks To
Mind. Jakarta: For Unindra
Use Only
Suriasumantri,
Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer.
Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar Harapan
……..,
2002. Macmillan English Dictionary for
Advanced Learners of
American
English.
Oxford: Macmillan Publishers Limited
Harian
Kompas, Sabtu, 22 Juni 2013
Harian
Kompas, Rabu, 3 Juli 2013
www.esqbs.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar