Di suatu hari, tepatnya di suatu
malam minggu di awal bulan Mei dalam suasana liburan panjang, saya dan istri
saya menempuh perjalanan pulang dari Tangerang ke Jakarta di atas moda angkutan
bus Agramas jurusan Tangerang-Cikarang.
Waktu itu kondisi lalu lintas padat merayap dan kami berdua sangat
ngantuk karena kelelahan.
Berangkat dari Tangerang saya dan istri saya duduk di bangku dua
sebelah kiri, baris ketiga dari depan. Saya duduk di sebelah kanan istri saya.
Dipisahkan oleh lorong jalan, di sebelah kanan saya duduklah ibu muda dan anak
lelakinya. Persis di sebelah kanan saya duduklah ibu muda itu dan di sebelah
kanannya duduklah anaknya.
Tak lama sesudah duduk anak
lelakinya mulai menyanyi pelan dan akhirnya agak keras sedikit. Lagu demi lahu
ia nyanyikan, di antaranya lagu pelangi,
burung kakatua, balonku, dan lain-lain dan pada saat selesai menyanyikan lagu cicak di dinding terjadi dialog antara
anak itu dan ibunya.
Sang anak: Hap lalu ditangkap. (penggalan syair lagu cicak di dinding)
Nyamuknya
dimakan cicak, ya mah?
Ibunya: Iya.
Biar nyamuknya tidak menggigit adik.
Sang anak: Mah, biar rumah kita tidak ada nyamuknya, kita banyakin saja
cicaknya.
Ibunya: Kalau
cicaknya dibanyakin, nggak baik juga.
(Berikutnya
terjadi penawaran dari sang anak)
Sang anak: Kalau begitu nggak usah banyak, mah ya?
Kalau
begitu bagaimana kalau lima saja?
Ibunya: Iya.
Iya.
(Anaknya
sudah mulai menunjukkan tanda-tanda lelah dan ngantuk)
Setelah anak itu tidak nyanyi
lagi, dialog beralih antara saya dan ibunya (yang mewakili anaknya).
Saya: Koq,
nyanyinya sudahan?
Ibunya: Iya,
baterinya sudah mulai lemah. (Baca: si anak sudah mulai lelah)
Saya: Nyanyinya
sudah lancar dan artikulasinya sudah jelas.
Sekarang
sudah duduk di kelas berapa?
Ibunya: Baru
duduk di kelas nol besar.
Saya: Oh!
Di kelas nol besar? Sebentar lagi naik ke kelas satu SD, dong?
Ibunya: Iya.
Insya Allah tahun ini akan didaftarkan ke kelas satu SD.
Dari dialog antara saya dan ibunya,
saya baru tahu kalau anak tersebut baru duduk di kelas nol besar. Alangkah
terkejutnya saya mengetahui hal itu. Anak kelas nol besar nalarnya sudah mulai
berproses.
Sementara itu sang anak sudah
mulai ngantuk berat, ibunya mulai mengendong dan memeluknya. Tidurlah anak itu di
atas pangkuan ibunya dalam perjalanan di atas bus Agramas yang sedang menuju
Jakarta. Menjelang sampai lampu merah Pasar Rebo, anak itu dibangunkan.
Dibelikanlah dia kacang goreng bungkus plastik dari pedagang asongan.
Sesampainya di lampu merah Pasar Rebo mereka berdua, ibu muda dan anaknya
turun. Sampai di sini saya tak tahu ke mana keduanya akan melanjutkan
perjalanan.
Sementara banyak pihak
mengeluhkan bahwa anak-anak kita belajarnya lebih banyak pada kemampuan
berpikir tingkat rendah. Seperti apa yang diutarakan oleh Mohammad Abduhzen:
“Orientasi pembelajaran yang dijalankan sebatas mengoptimalkan kemampuan
berpikir tingkat rendah. Pikiran para murid setiap hari dijejali oleh beragam
data pengetahuan yang—entah berguna atau tidak—dihafal dan diuji di kemudian
hari. Sedikit sekali para pelajar dilibatkan dalam proses berpikir tingkat
tinggi, seperti menalar, menganalisis, dan memecahkan masalah yang konon
sebagai salah satu kecakapan utama yang dibutuhkan untuk hidup dan suskses di
abad ke-21.” (Kompas, Senin, 2 Mei 2016, hal. 6) Pendiri startup Seekmi Nayoko Wicaksono yang pernah menempuh pendidikan di
University of British Columbia, Kanada menuturkan: “Pendidikan di Indonesia, banyak
yang lebih ke memorizing, tetapi
tidak terlalu mengerti tentang hal-hal yang dipelajari. Efeknya, pengetahuan
pun kurang mendalam.” (Kompas, Senin, 2 Mei 2016)
Saya tertarik dan ingin
berkomentar atas kejadian dialog antara ibu muda dan anaknya. Bila kita kaitkan
apa yang diutarakan anak dalam dialog tersebut di atas dan dua cuplikan di atas
yang sudah kita baca rasanya ada suatu kontradiksi. Anak itu saat ini baru
duduk di kelas nol besar tetapi mengapa nalarnya sudah nampak dan berproses?
Apakah nanti setelah duduk di bangku SD dan seterusnya nalar anak tersebut
sengaja ditumpulkan sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Mohammad Abduhzen?
Seandainya nalar anak itu diasah mulai di bangku SD—dan tidak dengan sengaja
ditumpulkan—saya yakin nalar anak ini akan menjadi tajam. Dan inilah generasi
yang kita idamkan.
Follow Twitter Saya: @baryzin