Andreas Schleicher, Direktur PISA-OECD, pada Google Education Symposium mengatakan, saat ini kita berusaha mendidik anak-anak abad ke-21 dengan guru-guru abad ke-20, dan struktur persekolahan abad ke-19. Dunia telah berubah, sedangkan persekolahan tergopoh-gopoh mengikuti.
Sehubungan dengan pendidikan abad ke-21 Salman Khan, pengarang buku "The One World School House" mengajukan rekonstruksi paradigma pedagogi yang berpusat pada asumsi kebiasaan, kesanggupan, dan kemauan murid untuk belajar (apa pun) secara independen. Sementara itu, guru bertindak sebagai fasilitator dan mentor ketimbang pengajar atau sipir kelas.
Peran guru tidak sekedar mengajar normatif, tetapi juga punya insights tentang minat, kecepatan, dan kesulitan yang dihadapi masing-masing murid. Dengan bantuan teknologi guru-guru terbaik di dunia dalam bahasa apa pun bisa diakses oleh siapa pun dan di mana pun. Dengan teknologi pula orangtua bisa mengakses semua data-data pendidikan terkait anak mereka, guru, sekolah, dan peran pemerintah.
Pendidikan sepantasnya bertumpu pada proses tumbuh kembang masing-masing murid yang unik dan istimewa. Pelajaran dan kurikulum hanyalah sekedar alat, bukan tujuan. Lagi pula, kurikulum terbaik untuk seseorang adalah kurikulum yang didisain secara khusus untuk dirinya.
Belajar yang berpusat pada murid. Secara umum, ini bisa diartikan sebagai pemusatan berbagai langkah, upaya, dan metode untuk memastikan berjalannya proses pembelajaran optimal pada masing-masing anak. Dibayang di ruang kelas itu tidak ada ruang kelas berdasarkan usia, tidak ada pembagian jam mata pelajaran dan tidak ada pekerjaan rumah (PR). Lebih lanjut, tidak ada nilai, tidak ada ujian, tidak ada paksaan dalam belajar. Apa yang terjadi dalam kelas tersebut adalah miniatur kehidupan dengan mengedepankan beberapa elemen kunci: passion, imajinasi, kreativitas, kejujuran, empati, kolaborasi, eksperimentasi, dan karya.
Pendidikan abad ke-21 tetap mengakui peran guru karena tidak ada teknologi yang bisa menggantikan peran guru, orangtua, dan ekosistem pendidikan. Pendidikan abad ke-21 mereferensikan bagaimana teknologi bisa berfungsi sebagai akselerator pendidikan.
Pendidikan abad ke-21 harus menekankan aspek inovasi. Orientasi pendidikan abad ke-21 harus memberikan ruang, waktu, dan bimbingan kepada anak-anak didik untuk berpikir inovatif dalam berbagai kesempatan di sekolah, termasuk ketika bermain, berinteraksi satu sama lain, belajar di kelas, makan siang, dan sebagainya. Berpikir inovatif inilah yang merupakan ciri keterampilan pendidikan abad ke-21 yang jauh lebih penting daripada keterampilan menggambar menggunakan berbagai aplikasi komputer.
Untuk menunjang pola pikir inovatif diperlukan setidaknya 3 hal, yakni fasilitas, kualitas guru, dan kegiatan belajar. Dibayangkan area bermain anak-anak dipenuhi dengan berbagai benda betulan dan bukan mainan agar lingkungannya terlihat alami. Dengan benda-benda yang ada, mereka setiap saat bisa membongkar pasang, membuat benteng atau rumah-rumahan. Di sini anak-anak dapat menjadikan berbagai benda, mainan atau bukan, menjadi hasil karya dan menjadi alat untuk terus berimajinasi.
Dibayangkan saat bermain, guru-guru abad ke-21 mengobservasi anak didik
mereka tanpa banyak intervensi. Mereka terdidik dan terlatih untuk peka
dan mengerti kapan mereka harus mendorong anak untuk bermain bersama
yang lain, dan kapan membiarkannya untuk sibuk sendiri di sudut halaman
sekolah. Mereka menggunakan berbagai cara unik untuk membangun
komunikasi yang baik dengan orangtua. Salah satunya adalah dengan
men-scan hasil karya anak-anak untuk disampaikan kepada orangtua mereka.
Anak-anak di sini tidak sedang berpura-pura belajar, tapi belajar betulan. Maka, alat belajar mereka pun alat betulan. Learning by doing, kata John Dewey. Mereka membuat patung dari tanah liat, menggambar dengan berbagai media, berlatih memalu paku, berlatih memotong kayu dengan gergaji, menjahit dengan mesin listrik, dan semua ini dilakukan dengan alat yang sebenarnya, bukan mainan.
Berprinsip pada filosofi pendidikan John Dewey, dalam belajar anak-anak harus mengalami melalui perbuatan langsung, experiencing berbagai proses, bereksperimen menggunakan berbagai alat, dan mencoba sendiri menjawab pertanyaan mereka secara aktif, lalu membangun pertanyaan baru, kemudian menjawabnya lagi, dan terus-menerus berpikir inovatif. Dalam belajar anak-anak perlu lingkungan sekolah apa adanya tanpa dicat warna-warni yang artifisial. Anak-anak harus dibiasakan tumbuh di lingkungan yang alami dan belajar hal-hal yang juga alami yang mereka temui di luar sekolah.
Dewey berprinsip bahwa sekolah bukanlah ruang yang terisolasi dari "kehidupan nyata," dan sekolah bukanlah persiapan untuk hidup melainkan bagian dari hidup anak-anak itu sendiri. Demikian pula pendidikan abad ke-21, pendidikan model ini harus dirancang untuk merespons kompleksitas dunia. Bukannya terisolasi dalam dinding kelas, terkungkung di dalamnya.
Note:
Inti dari filosofi pendidikan John Dewey adalah "learning by doing." Pentingnya keterlibatan langsung dalam belajar dikemukakan oleh John Dewey dengan "learning by doing"-nya. Belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung. Belajar harus dilakukan oleh murid secara aktif, baik individual mau pun kelompok dengan cara memecahkan masalah.
EnglishKita.com
Sumber: Kompas, 14 Desember 2015, hal. 19
insight: wawasan, pengertian, pengetahuan (yg dalam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar